seputar-Jakarta | Ditemukannya kasus polio di Kabupaten Pidie, Aceh membuat banyak orang bertanya-tanya. Betapa tidak, Indonesia sendiri sebelumnya telah dinyatakan sebagai negara bebas polio.
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama mengatakan ada beberapa alasan mengapa polio masih ditemukan di Aceh.
“Ada beberapa hal ya. Tapi hal paling utama adalah vaksinasi atau imunisasi yang tidak menyeluruh di wilayah ini,” kata Tjandra saat menjadi pembicara dalam Meet The Expert yang digelar Kementerian Kesehatan secara daring, Jumat (25/11/2022).
Tjandra mengakui, pandemi Covid-19 juga bisa jadi salah satu faktor mengapa cakupan imunisasi anak belum 100 persen terpenuhi. Namun, pemerintah sebetulnya telah menggalakkan pekan imunisasi yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia pada awal dan pertengahan tahun ini.
“Secara umum saya kira memang cakupan vaksinasi belum ideal tercapai makanya berbagai penyakit timbul,” kata dia.
Tjandra menduga, tidak terpenuhinya imunisasi, utamanya vaksin polio, terjadi karena penolakan masyarakat.
Menurutnya, hingga saat ini masih banyak masyarakat yang menolak vaksin. Kondisi ini bahkan tak hanya terjadi di Indonesia.
Dia pun meminta masyarakat untuk memenuhi imunisasi anak. Imunisasi jadi salah satu cara terampuh untuk menjaga kesehatan anak-anak.
“Jadi memang kejadian orang menolak vaksin itu terjadi di banyak tempat. Mari kita tingkatkan cakupan vaksinasi lain. Yang terjadi di Pidie ini kita jadikan pelajaran,” kata dia.
Virus Sama dengan Kasus di AS dan Inggris
Tjandra Yoga Aditama mengatakan temuan satu pasien polio tidak menggugurkan status bebas polio di Indonesia. Sebab, virus yang menyebabkan anak di Pidie ini mengalami polio adalah virus yang berbeda dengan polio sebelumnya.
“Jadi Indonesia tetap bebas polio. Virusnya beda. Kalau yang sebelumnya itu jenisnya wild poliovirus (WPV), sekarang ini yang hasil mutasinya,” kata Tjandra.
Singkatnya, polio yang terjadi saat ini disebabkan oleh Circulating vaccine-derived poliovirus type 2 (cVDPV2). Virus ini, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), adalah jenis virus polio yang bermutasi dari jenis yang semula terkandung dalam vaksin polio oral (OPV).
Virus ini disebut sama dengan yang menyebabkan kasus polio di Amerika Serikat dan Inggris.
OPV mengandung virus polio hidup yang dilemahkan yang bereplikasi di usus untuk jangka waktu terbatas. Saat dimasukkan ke dalam tubuh, OPV akan mengembangkan kekebalan dengan membangun antibodi.
Tapi, virus ini bisa keluar dari tubuh melalui feses. Jika lingkungan kotor, maka virus bisa menyebar dan menulari anak lain, terutama yang belum mendapatkan imunisasi.
Oleh karena itu, Tjandra menyebut bahwa lingkungan yang menerapkan budaya hidup bersih penting diterapkan. Terutama, tidak buang air besar sembarangan seperti di sungai atau di kebun.
Dia juga mengimbau masyarakat untuk memenuhi imunisasi. Bukan hanya imunisasi polio, tapi imunisasi untuk penyakit lainnya.
“Imunisasi sangat penting. Bukan hanya melindungi anak Anda, tapi juga semua anak di lingkungan Anda,” katanya.
Pemerintah sendiri akan segera melakukan vaksinasi polio di wilayah Aceh, buntut temuan pasien polio beberapa waktu lalu. Imunisasi ini akan menggunakan nOPV2 buatan Bio Farma.
Sebelumnya, seorang anak di Kabupaten Pidie, Aceh didiagnosis terkena polio tipe-2 dengan gejala utama lumpuh mendadak.
Setelah uji sampel feses dilakukan, virus polio ditemukan pada tiga anak lainnya. Meski begitu, ketiga anak ini tidak bisa dikatakan sebagai pasien sebab tidak mengalami gejala lumpuh layu mendadak. (cnnindonesia)