seputar – Toba | Pasca-bentrok antara karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan warga di Desa Natumingka, Kabupaten Toba, seruan tutup PT TPL terus dikumandangkan.
Salah satunya datang dari mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GKMI) ikut mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan pihak PT TPL.
Juwita Panjaitan selaku Ketua GMKI Siantar-Simalungun meminta Kepolisian Resor (Polres) Toba untuk mengusut tindakan kekerasan yang mengakibatkan 12 orang warga luka-luka.
“Harusnya kepolisian melindungi masyarakat adat, karena mereka tidak bersenjata dan umurnya sudah rentan tua bukan malah diam saat mereka diserang batu dan kayu,β kata Juwita dalam keterangan tertulis, Kamis (20/5/2021).
Pihaknya menuding kehadiran PT TPL di wilayah tanah Batak kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat adat. Atas dasar itu GMKI mendesak pemerintah agar segera menutup dan menghentikan segala aktivitas PT TPL.
βIni karena telah mencederai para masyarakat adat dan semakin bertambah daerah rentan konflik pasca hadirnya perusahaan penghasil bubur kertas itu,β katanya.
Di samping itu, GMKI juga meminta Pemerintah Kabupaten Toba untuk menyelesaikan konflik tersebut agar kedepan kejadian serupa tidak terulang.
Diketahui sebelumnya, sedikitnya 9 orang warga luka-luka pasca-bentrok dengan karyawan PT TPL di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Selasa 18 Mei 2021.
Bentrokan dipicu saat ratusan karyawan PT TPL hendak menanam paksa bibit pohon eucalyptus di lahan yang dikelola masyarakat adat Natumingka.
Bentrokan ini disaksikan oleh petugas TNI Polri dan utusan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Balige.
Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak, mengatakan bentrokan berawal saat ratusan petugas keamanan dan karyawan PT TPL datang ke lahan tersebut. Mereka membawa truk penuh dengan bibit eukaliptus untuk ditanami di lahan itu.
Akan tetapi, masyarakat menolak lahan itu ditanami bibit eukaliptus. Mereka membantah klaim PT TPL bahwa lahan seluas 600 hektare tersebut masuk dalam konsesi PT TPL. Menurut masyarakat lahan tersebut sudah ratusan tahun mereka kelola.
“Masyarakat sudah ratusan tahun menempati lahan itu. Di sana sudah ada 13 generasi. Tapi PT TPL mengklaim itu konsesi mereka. Di wilayah adat itu PT TPL mengklaim 600 hektare sebagai wilayah konsesi,” kata Roganda,
Terpisah, Direktur PT Toba Pulp Lestari Tbk Jandres Silalahi mengonfirmasi aksi-aksi yang tidak diharapkan oleh sekelompok masyarakat tersebut terjadi di tengah proses dialog antara perusahaan, masyarakat, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), serta stakeholders lainnya.
“Kami menyesalkan atas terjadinya tindakan yang tidak diharapkan yang menyebabkan dua korban luka. Apalagi, aksi oleh sekelompok oknum masyarakat tersebut terjadi di tengah proses dialog untuk menyelesaikan isu-isu yang ada,” kata Jandres.
Lokasi penanaman tersebut merupakan lokasi konsesi yang memiliki izin dari negara dan telah memasuki masa rotasi penanaman ke-6 (enam), berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.493/Kpts-II/92 tanggal 01 Juni 1992.Jo SK.307/MenLHK/Setjen/HPL.P/7/2020 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
Atas terjadinya aksi tersebut, PT Toba Pulp Lestari akan terus mendorong dialog dan solusi yang damai dengan masyarakat guna mencari jalan keluar persoalan.(hetanews/CNN Indonesia)