seputar-Belawan | Pembiaran yang dilakukan aparat terkait terhadap marak beroperasinya alat tangkap ikan pukat trawl dan sejenisnya di perairan Sumatera Utara (Sumut) memunculkan kecemburuan sosial yang rawan memicu terjadinya konflik fisik antara sesama nelayan.
“Kapal-kapal pukat trawl yang notabene milik pengusaha tersebut seperti sengaja ingin membenturkan nelayan, yang akhirnya nelayan kecil lah yang akan paling menderita,” kata pemerhati nelayan di Sumatera Utara, M Safri (60), Jumat (29/1/2020).
Saat disambangi wartawan ke kediamannya di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan, Safri mengatakan penggunaan pukat trawl di perairan Sumut cacat hukum karena jelas melanggar Undang-Undang Perikanan No. 45 Tahun 2009 tentang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan atau menggunakan alat tangkap trawl (Pasal 9) dan Pasal 85, yang ancaman hukumannya 5 tahun penjara dan denda Rp2 miliar.
Menurut dia, marak beroperasinya pukat trawl di zona tangkap nelayan kecil perairan Sumut tidak pernah dikoordinasikan pihak pengusaha kepada masyarakat nelayan kecil, kecuali hanya dibicarakan kepada penguasa yang mau uang ilegal.
Dengan marak beroperasinya pukat trawl bahkan menangkap ikan di zona tangkap nelayan kecil itu membuat kecemburuan sosial di kalangan nelayan semakin tinggi.
Contohnya kalau lagi musim ikan, maka nelayan pencari ikan yang punya penghasilan, sedangkan pukat udang menjerit. Sebaliknya kalau lagi musim udang, nelayan yang menggunakan pukat udang yang punya penghasilan.
“Jika pukat trawl dioperasikan semua jenis ikan di laut bahkan biota laut seperti terumbu karang bakal habis disapu bersih. Yang paling menderita nelayan pemancing karena mereka mencari ikan
di terumbu karang yang saat ini sudah tinggal lumpur laut,” ungkapnya.
Ia menegaskan beroperasinya pukat trawl di perairan Sumut bukan hanya merugikan nelayan kecil tapi sangat merugikan pendapatan negara. Karena itu pemerintah harus menghentikan aktivitas pukat trawl di perairan Sumut dan tidak memberikan izin penggunaan pukat trawl.
“Segel saja alat tangkap pukat trawl itu karena hanya menguntungkan pengusahanya dan penguasa.
Tegakkan supremasi hukum di Indonesia supaya semua masyarakat sejahtara di bumi yang kaya raya ini,” katanya.
Sapri juga mengaku merasa aneh dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Laik Operasi (SLO), dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) bagi pengoperasian pukat trawl sudah kedaluarsa (mati) tapi masih bisa beroperasi menangkap ikan.
“Siapa yang melindunginya itu, harus diusut. Aparat penegak hukum jangan main-main menegakkan hukum terhadap pelanggar UU No. 45 Tahun 2009 itu. Bila diabaikan akan terjadi krisis ikan laut untuk dikonsumsi manusia dan harganya akan selangit. Sekarang perairan Sumut sudah zona merah tangkap ikan karena ikan kecil dan besar habis dikuras pukat trawl,” tambahnya. (DP)