seputar-Medan | Menjelang Hari Tani Nasional 2020, sejumlah elemen masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat Sumatera Utara (AKBAR-SUMUT) menyampaikan pernyataan sikap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Hal tersebut disampaikan Kepala Divisi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Muhammad Alinafiah Matondang, dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Kantor LBH Medan, Senin pagi (21/9/2020).
Ali mengatakan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja hanya bertujuan untuk memfasilitasi kaum pemodal, tetapi mengancam dan merampas kedaulatan rakyat di hampir semua sektor kehidupan.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja, lanjutnya, mengancam sektor-sektor kehidupan rakyat karena akan terjadinya praktik- praktik liberalisasi ekonomi, komersialisasi, dan privatisasi tanah serta kapasitasi sumber-sumber agraria.
“Jika RUU sapu jagad ini diloloskan oleh pemerintah dan DPR RI, maka akan menjadi pintu bagi hilangnya kedaulatan rakyat atas sumber-sumber agraria yang akan memasifkan eksploitasi sekelompok orang terhadap ratusan juta rakyat Indonesia,” terangnya.
Ia juga menyebutkan ada beberapa poin lain yang juga sangat berbahaya dalam RUU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law. Antara lain hilangnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat, hilangnya upah minimum dan penerapan upah kerja per jam, dan pengurangan pesangon bagi buruh yang ter-PHK.
Ia mengemukakan di Sumut saja, sejak 3 bulan lalu ada ratusan petani Simalingkar dan Sei Mencirin harus berjalan kaki menuju Istana Negara menjemput keadilan atas tanah mereka ya dirampas perusahaan plat merah (PTPN II).
Konflik agraria di Sumut terus berlangsung tanpa henti mengakibatkan petani dan masyarakat adat sebagai korban.
“Hingga saat ini belum ada konflik agraria di Sumatera Utara yang sudah selesai,” ucapnya
Atas dasar itu AKBAR-SUMUT yang diinisiasi LBH Medan mendesak pemerintah dan DPR segera mengsahkan RUU Perlindungan Masyarakat Adat dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. “Kita juga menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan,” pungkasnya. (AFS)