STUNTING adalah kondisi gagal tumbuh pada anak bayi di bawah lima tahun (Balita). Hal ini disebabkan kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan pada masa awal setelah bayi lahir.
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI dr Maria Endang Sumiwi MPH pada Konferensi Pers Gerakan Nasional Aksi Bergizi, Senin (24/10) lalu di Jakarta mengatakan, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada Balita karena kurangnya asupan gizi atau asupan gizi yang tidak adekuat.
Penyebab lainya juga karena ada infeksi berulang atau karena kurangnya stimulasi asupan gizi. Beberapa faktor terjadinya stunting yaitu kurangnya asupan gizi dan nutrisi yang dibutuhkan anak, kurangnya pegetahuan mengenai pola asuh, edukasi bagi ibu hamil dan menyusui.
Faktor penyebab lainnya yakni kondisi sanitasi lingkungan yang tidak atau belum memadai seperti sarana air bersih dan MCK, masih terbatasnya akses fasilitas kesehatan terutama di daerah daerah yang sarana dan prasarana transportasinya tidak atau belum memadai.
Stunting berdampak kepada anak dengan pertumbuhan fisik yang tingginya dibawah rata rata anak seusianya. Terganggunya perkembangan otak yang mempengaruhi kecerdasan anak di sekolah, produktifitas dan kreatifitas di usia produktif serta mudah terjangkit penyakit. Hal ini akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM), sebab anak merupakan generasi penerus bangsa. Kualitas SDM yang rendah tentunya berpengaruh dengan kemajuan bangsa.
Menurut hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kemenkes, prevalensi Balita yang mengalami stunting di Indonesia sebanyak 24,4 persen pada 2021.
Beberapa waktu lalu, dalam kegiatan koordinasi dan konsolidasi percepatan penurunan stunting tingkat Provinsi Sumatera Utara, Penyuluh KB Ahli Utama BKKBN Pusat Nofrijal mengatakan, tren stunting berdasarkan aplikasi elektronik-pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) 2022 di Sumut menunjukkan arah yang positif, Balita yang diinput sebesar 824 ribu atau 38 persen terhadap kasus stunting, hanya 6,67 persen yang mengalami stunting.
Kepala Perwakilan BKKBN Sumut Mhd Irzal menyampaikan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 satu indikator pembangunan manusia yang telah ditetapkan adalah frekuensi penurunan angka stunting dari batas tren di tahun 2024, yakni di kondisi 27 persen di tahun 2019 secara nasional.
Sumut sesuai data SSGI tahun 2021 mengalami penurunan dari 30 persen menjadi 25,8 persen.
Ia berharap penurunan stunting 2,7 persen per tahun. Sedangkan target angka stunting dari pemerintah hingga tahun 2024 sebesar 15 persen.
Kepala BKKBN Pusat Hasto Wardoyo dalam Pencanangan TNI Manunggal Bangga Kencana Kesehatan Terpadu dan Pengukuhan Bapak Asuh Anak Stunting di Kota Medan bulan Oktober lalu menyampaikan, masalah stunting karena asupan gizi yang kurang, maka perlunya diperhatikan pemberian gizi. Perlunya imunisasi pada Balita agar anak tidak sakit yang dapat menyebabkan stunting serta faktor lingkungan yang sehat.
Permasalahan stunting terutama di Sumatera Utara dapat diturunkan dengan melaksanakan pola asuh anak yang baik, asupan gizi yang cukup dan pentingnya kebersihan serta sanitasi lingkungan yang baik. Keluarga tidak ada yang merokok karena akan mengganggu perkembangan janin.
Stunting dapat dicegah, antara lain melalui pemenuhan kebutuhan gizi bagi ibu hamil, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan kemudian dilanjutkan dengan MPASI. Orangtua juga diharapkan membawa balitanya secara rutin ke Posyandu, memenuhi kebutuhan air bersih, meningkatkan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.
Selain itu, melakukan upaya percepatan penurunan stunting diantaranya melakukan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan melalui pelatihan, pertemuan lintas sektor hingga memberikan biskuit kelor, pemberian makanan tambahan untuk balita stunting, gizi kurang dan ibu hamil kekurangan energi protein. (*)