seputar – Kuala Lumpur | Anwar Ibrahim, pemimpin oposisi Malaysia , mendesak Perdana Menteri (PM) Muhyiddin Yassin mengundurkan diri atas tuduhan tidak mematuhi Konstitusi Federal atau menghormati raja.
Desakan ini dipicu oleh pemerintah Muhyiddin yang mencabut emergency ordinances (EO) atau peraturan darurat negara terkait COVID-19 tanpa seizin Raja Malaysia; Sultan Abdullah Ahmad Shah.
Wakil Ketua Parlemen, Mohd Rashid Hasnon, memperumit masalah ketika dia menolak mengakui bahwa Raja Malaysia mengeluarkan pernyataan kekecewaan terhadap pemerintah dan justru menganggap pernyataan itu sebagai “pernyataan media”.
Anwar Ibrahim, yang membacakan pernyataan Raja Malaysia di Parlemen pada hari Kamis, mengatakan insiden ini menunjukkan bahwa pemerintahan Muhyiddin tidak mematuhi Konstitusi Federal atau menunjukkan rasa hormat terhadap institusi kerajaan.
Dia juga mengatakan Menteri Hukum Takiyuddin Hassan telah membingungkan Parlemen.
“Kami tidak hanya mencapai tingkat krisis tetapi juga pengkhianatan dan penipuan Parlemen,” katanya di hadapan para anggota Parlemen.
Anwar menambahkan bahwa Pasal 150 Konstitusi Federal menyatakan bahwa kekuasaan untuk mencabut EO adalah milik Yang di-Pertuan Agong—sebutan untuk Raja Malaysia.
“Raja sangat kecewa karena EO dicabut meskipun belum diajukan (untuk menerima persetujuan),” katanya, seraya menambahkan bahwa pemerintah PM Muhyiddin telah berbohong.
“Dia (Muhyiddin) tidak mengatakan yang sebenarnya. Kami minta dia mundur,” imbuh Anwar seperti dikutip Free Malaysia Today.
Anggota Parlemen, Gobind Singh Deo, mempertanyakan mengapa Rashid melindungi para menteri dari menjawab masalah tersebut, setelah wakil ketua Parlemen itu menyerukan perdebatan tentang paket stimulus untuk dilanjutkan.
Rashid kemudian mendapat kecaman dari Anwar setelah mengatakan bahwa pernyataan Raja adalah “hanya pernyataan media”.
Gobind mengatakan, jika Ketua Parlemen Azhar Azizan Harun gagal mengajukan mosi yang dia ajukan kemarin tentang pencabutan EO, dia harus mengundurkan diri.
Lebih banyak anggota parlemen kemudian menuntut Azhar, Muhyiddin dan Takiyuddin hadir di Parlemen. Ketiganya tidak hadir saat itu.
Mahathir Mohamad
Hal senada juga dilontarkan Mahathir Mohamad. Mantan Perdana Menteri itu telah bergabung dalam seruan para politisi yang mendesak Perdana Menteri (PM) Malaysia Muhyiddin Yassin dan Kabinetnya untuk mengundurkan diri.
Menurut Mahathir, meskipun seorang menteri yang membuat pengumuman seperti itu, namun Muhyiddin tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai kepala pemerintahan.
Dia mengatakan Muhyiddin tidak berusaha untuk mengoreksi pengumuman Menteri Takiyuddin meskipun duduk di sebelahnya, atau pada hari-hari berikutnya.
“Oleh karena itu, dia bertanggung jawab atas tindakan memalukan ini seperti halnya anggota Kabinet lainnya,” kata Mahathir seperti dikutip The Star, Jumat (30/7/2021).
“Oleh karena itu, dia wajib mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri dan anggota kabinetnya harus mengikutinya,” katanya.
Raja Malaysia, Yang di-Pertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah telah menyatakan kekecewaannya yang besar dengan keputusan pemerintah untuk mencabut enam EO tanpa persetujuannya.
Dalam sebuah pernyataan, Raja juga mengungkapkan kekecewaannya karena pencabutan peraturan itu tidak disampaikan di Parlemen oleh pemerintah.
Pengawas Keuangan Rumah Tangga Kerajaan Istana Negara Datuk Ahmad Fadil Shamsuddin mengatakan dalam pernyataannya bahwa Pasal 150 (2b) dan Pasal 150 (3) Konstitusi Federal dengan jelas menyatakan bahwa kekuasaan untuk memberlakukan dan mencabut peraturan darurat berada di tangan Yang di-Pertuan Agong.
“Dalam hal ini, Yang Mulia menyatakan kekecewaan atas pernyataan 26 Juli di Parlemen bahwa pemerintah telah mencabut semua EO yang telah diumumkan Raja selama masa darurat, meskipun Yang Mulia belum menyetujui pencabutan itu,” kata Ahmad Fadil.
Dia menambahkan bahwa Raja juga menyatakan sangat kecewa bahwa sarannya bahwa pencabutan peraturan darurat diajukan dan diperdebatkan di Parlemen tidak dilaksanakan.
“Usul Yang Mulia telah disepakati sebelumnya dalam pertemuan virtual pada 24 Juli dengan Takiyuddin dan Jaksa Agung Tan Sri Idrus Harun,” katanya.
“Yang Mulia menegaskan bahwa pernyataan Menteri Urusan Parlemen pada 26 Juli itu tidak tepat dan membingungkan anggota Parlemen,” kata Ahmad Fadil.
Dia mengatakan Raja juga mengatakan bahwa pengajuan pemerintah untuk mencabut EI pada 21 Juli dilakukan dengan tergesa-gesa dan belum melalui Parlemen.(sindo)