seputar – Tapanuli Utara | Tarutung, sebagai ibukota Tapanuli Utara atau ibukota Batak Landen di masa penjajahan, ternyata menyimpan ratusan cerita menarik untuk digali. Kendati demikian, sebenarnya tinggal sedikit warisan cerita dan para keturunan saksi sejarah yang bisa menjelaskan secara rinci tentang kisah menarik Kota Tarutung.
Salah satu bahagian galian adalah sejarah masuknya Etnis Tionghoa ke kota Tarutung, kota yang diperkirakan telah berusia di kisaran 170 tahun itu.
Rabu (12/5/2021), seorang keturunan Tionghoa bernama Sio Hong Wai, pemilik Toko Mas Onma di Jalan Gerhard Lumbantobing, Tarutung, saat ditemui sedang memperbaiki dan menukangi sejumlah bentuk perhiasan yang terbuat dari logam emas.
“Wah, sebenarnya saya kurang mengetahui semua, tetapi apa yang saya tahu sekarang tidak lebih dari kumpulan sejumlah cerita turun-temurun dari orang-orang tua dan sejumlah bundel, dokumentasi tulisan serta foto tempo dulu,” tukasnya.
“Bicara Kota Tarutung, sebenarnya tidak terlepas dari Onan Sitahuru Saitnihuta (jaraknya sekira satu kilometer dari Tarutung), yang merupakan awal pusat perdagangan (pasar) pertama di Silindung,” ujarnya.
Ceritanya, pada tahun 1870, Lie Eng Seng merupakan orang pertama dari etnis Tionghoa yang memasuki Kota Tarutung. Ia merupakan seorang pedagang kue dan roti.
“Hanya saja tulisan sejarah memuat perjalanan hidupnya tidak lengkap. Tetapi menurut cerita turun-temurun, beliau meninggal di Onan Sitahuru Saitnihuta dan dimakamkan di Siraurau. Waktu itu belum ada pekuburan China,” kata Hong Wai.
Setelah beliau, siapa lagi yang menyusul masuk ke Tarutung?
“Nah, barulah pada tahun 1877 ada cerita lagi. Saya menemukan sebuah dokumen dan foto tentang sosok seorang Kapitan China pertama bernama Joe Kim Lay yang dahulu tinggal di Jalan Sisingamangaraja Tarutung, tepatnya di Lokasi Hotel Safari sekarang,” tuturnya.
Kata Hong Wai, pemerintah Belanda waktu itu memiliki pertimbangan dan penilaian terhadap sosok cerdas dan lincah Joe Kim, sehingga diangkat menjadi Kapitan Tiongkok.
Kapitan Tiongkok pertama di Tarutung, Joe Kim Lay (bertopi cowboy) bersama dengan sejumlah Demang di depan Losmen Silindung di Wilhelmina Straat atau Jalan Sisingamangaraja Tarutung. (foto: Repro Mistar)
Dia juga diangkat menjadi agen transport dan jasa pos pemerintahan Belanda.
“Untuk mengantarkan barang-barang pos, kalau di dalam Kota Tarutung sekitarnya dia dan pembantunya, menggunakan pedati, tetapi kalau keluar misalnya ke Siborongborong atau Balige menggunakan kuda,” terangnya.
Berkat pekerjaannya itu, tutur Hong Wai, Kapitan Tiongkok itu semakin memperoleh rezeki, karena selain tugas utamanya itu, dia juga mengurus administrasi orang Tiongkok yang baru masuk dan telah bermukim di Tarutung.
“Hingga dia membangun Losmen Silindung,” jelasnya.
Diketahui, bangunan losmen atau Hotel Silindung masih ditemukan hingga sekarang dan terletak persis di samping Tukang Bakmie Gemar atau di depan Brew Coffee Tarutung, di Jalan Sisingamangaraja.
Mengapa Joe Kim Lay terpikir untuk membangun hotel?
“Kalau saya menilai, beliau itu manusia visioner. Dia sudah mulai melihat peningkatan perekonomian warga kota, sebab selain sebagai pusat dagang, Tarutung waktu itu sudah menjadi Ibukota Batak Landen. Tentu peluang majunya sangat besar, karena banyak para birokrat/jajarannya dan Demang serta orang Belanda sendiri yang berurusan ke Tarutung dari wilayah jauh. Mereka punya uang dan akhirnya menginap di kota ini. Yang saya tangkap naluri bisnis Joe Kim sudah memadai ketika itu,” ungkap Hong Wai.
Maka menurutnya, salah satu bangunan etnis Tionghoa tertua yang masih tersisa di Tarutung adalah Losmen Silindung milik Kapitan Tiongkok Joe Kim, dan diperkirakan dibangun di bawah tahun 1900-an.
Terungkap juga, setelah era Joe Kim Lay, terpilihlah Kapitan Tiongkok kedua bernama Joe Kang, kakek pemilik Toko Zaman, sekitar tahun 1932 hingga masa pendudukan Jepang.
Fakta Sejarah
Hong Wai juga menuturkan, sebelum Onan Sitahuru dipindahkan ke Tarutung, kawasan ini dahulu masih dominan tanah persawahan.
Tetapi setelah di tata Belanda dengan membangun Pasar Harungguan, lahirlah pemukiman-pemukiman baru di Tarutung. “Tarutung masih ibarat sebuah perkampungan dengan eksistensi rumah-rumah panggung (rumah tradisional Batak Toba),” sambungnya.
Atas pemukiman itu, muncullah sebutan nama-nama komplek atau dalam bahasa Belanda/Eropanya ‘straat’, seperti Wilhelmina Straat (sekarang Jalan Sisingamangaraja) Tarutung dimulai dari Simpang 3 Jalan Sibolga hingga Naheong, Lumbantobing Straat (sekarang Jalan Gerhad Lumbantobing) dan Hutabarat Straat (sekarang Jalan DI Panjaitan).
Lantas, etnis Toinghoa semakin banyak di kota ini, bagaimana ceritanya?
“Beberapa etnis Tionghoa di awal tahun 1900 -an belum seberapa. Tetapi setelah 1910, mereka mulai ramai, menyusul semakin hidupnya geliat dagang kemenyan, hingga membuka akses dagang ke Sibolga.
“Banyak juga etnis Tionghoa menjadi pengumpul atau tauke kemenyan hasil pertanian kemenyan masyarakat Taput,” sambungnya.
Misalnya lokasi Toko Zaman di Jalan DI Panjaitan sekarang. Kakek yang punya toko itu, jelas Hong Sai, dahulu adalah salah satu pengumpul kemenyan terbesar di kota ini.
“Sangat besar, mereka terkenal sebagai tauke haminjon (kemenyan),” sebut Shio Hong Sai, yang sekarang telah bernama Frederik Parluhutan, setelah dibaptis menjadi penganut protestan. Ayahnya sendiri selaku pendiri Toko Mas Onma yang didirikan tahun 1952, bernama Lukas Sio.
Kalau bicara etnis Tionghoa di Tarutung, mereka masuk sub-etnis Han yang turunannya Kantonis dan Hokkian.
“Kami Kantonis (Cantonese), lebih memilih pekerjaan seperti tukang mas, tukang gambar, tukang jam dan tukang kayu. Salah satunya tukang gambar Gaya Baru di Jalan Sisingamangaraja Tarutung,” ungkapnya.
Tetapi, kata Shio Hong, kalau Hokkian lebih dominan memilih bidang perdagangan, misalnya Tan Bun Shio dan Yu Khan yang menjadi tauke atau pedagang kemenyan dan sejumlah pedagang lainnya, termasuk Joe Kim Lay pemilik Losmen Silindung.
Ada juga yang masuk di klan Hakka, misalnya Toko Ganefo, Fentung Zaman, Singapore Baru. Hokciu misalnya Samea dan Parkode Kopi Najolo. Tiociu misalnya Toko Roti Sukaria. Hinghwa misalnya Toko Sempurna, Rapi dan Majumotor serta Hupei misalnya tukang gigi seperti Si Dayak.
Soal anutan kepercayaan?
“Sekarang kami lebih besar menganut Katolik dan Protestan. Tetapi ada juga yang bertahan dengan agama Konghucu, sekitar 30 persen dari populasi etnis Tionghoa di Tarutung,” ujarnya.
Dijelaskan juga, sekarang jumlah etnis Thionghoa yang tinggal di Tarutung sekitar 80 KK. “Kami bernaung di bawah yayasan sosial Saroha,” tukasnya.
Akhir cerita, pertanyaan pun menyasar tentang cerita pekuburan (pemakaman) orang Tiongkok di Simaungmaung, Hutatoruan IX.
“Itu ada sekitar tahun 1901. Kalau tidak salah pertama sekali dimakamkan di sana adalah Nyonya Tan, yang berobat ke pusat pelayanan kesehatan di Pearaja Tarutung, yang akhirnya meninggal dan dikuburkan di sana. Kalau tidak salah itu cikal bakalnya,” ujarnya.
Luas lokasi pemakaman ini sendiri diperkirakan lebih dari setengah hektare dan masih berada di pusat Kota Tarutung.
Maka, menurut penuturan Hong Shio, setiap tahun etnis Tionghoa di kota ini akan melakukan Qingming atau Cheng Beng; sebuah tradisi kuno Tiongkok untuk melakukan penghormatan kepada leluhur, yang dilakukan pada akhir Maret atau awal April.(mistar)