seputar – Samarinda | Jaksa Agung ST Burhanuddin kembali mengingatkan para jajarannya untuk menjaga integritas dalam bertugas. Dia tak ingin, perilaku dan keputusan jaksa justru merugikan penegakan hukum, bahkan masyarakat.
Burhanuddin juga menyinggung tentang surat edaran yang telah dibuat agar penuntutan didasarkan rasa keadilan. Sehingga, tak ada lagi tuntutan yang tak sebanding dengan perbuatan.
“Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP. Tidak ada dalam KUHAP. Tapi ada dalam hati nurani kalian. Camkan itu. Saya sudah terbitkan surat edaran itu.” kata Burhanuddin saat menghadiri acara ground breaking pembangunan Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim di Samarinda, Senin, 10 Agustus 2020.
“Camkan dan patuhi itu. Saya tidak menginginkan, nanti ada rakyat pencari keadilan atau apapun yang dilukai kalian. Tidak ada lagi yang mengambil batang kayu sebatang, kalian pidanakan. Kalau kalian melakukan itu, kalian yang saya pidanakan,” tegas Burhanuddin.
Dalam kesempatan itu, Burhanuddin, juga mengingatkan tentang pendampingan terhadap kepala desa dalam mengelola dana desa. Kemudian pendampingan terhadap pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Jaksa diminta tak melulu mengedepankan penindakan dalam menegakkan hukum. Tapi, diberikan pendampingan terlebih dahulu. Apabila telah diberikan pendampingan, masih terjadi penyalahgunaan, jajaran Kejati/Kejari harus melihat motifnya.
“Ada niatan apa mereka. Tolong jangan asal menentukan mereka sebagai tersangka. Apabila mereka memang niatnya (korupsi) sudah begitu. Apa boleh buat (harus ditindak),” katanya.
Sebelumnya Kejaksaan Agung telah menerbitkan aturan tentang keadilan restoratif atau penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan. Dalam perkara perdata, keadilan restoratif dikenal dengan istilah mediasi.
Aturan tentang keadilan restoratif ini tercantum dalam Peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Kejaksaan berharap aturan yang terbit pada 21 Juli 2020 itu bisa menjadi jawaban atas tuntutan keadilan masyarakat.
“Berpuluh-puluh tahun kita harus membawa perkara kecil ke pengadilan. Perkara yang sebenarnya tak menimbulkan kerugian besar,” kata Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum, Sunarta, dalam pidato kuncinya saat Bimtek Virtual Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kamis, 6 Agustus 2020.
Dengan adanya aturan yang terdiri atas 17 pasal ini, jaksa penuntut umum (JPU) berhak menghentikan penuntutan terhadap terdakwa dalam kasus-kasus tertentu. Dengan catatan, antara terdakwa dan korban menemui kesepakatan berdamai.
Aturan ini menjadi penting, khususnya untuk kasus-kasus yang menjerat masyarakat kecil. Sunarta mencontohkan kasus Nenek Minah yang diadili hanya karena mencuri tiga biji kakao. Atau Kakek Samirin di Simalungun yang harus merasakan dinginnya sel penjara hanya karena mencuri getah karet milik PT Bridgestone seberat 1,9 kilogram atau setara Rp17 ribu.
“Hingga perkara diputus, terlalu banyak kerugian dalam mengadili perkara-perkara kecil tersebut. Mulai dari penumpukan beban perkara, penjara menjadi penuh, hingga nasib tak tentu anak-anak yang ditinggal terdakwa,” kata Sunarta.
Menurutnya, ketidakefisienan penegakan hukum itu justru menyengsarakan masyarakat. Untuk itulah perlu terobosan hukum.
Pasal 3 Peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020 menyatakan penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Yang dimaksud kepentingan umum itu meliputi terdakwa meninggal, kedaluwarsanya penuntutan pidana, dan telah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap terhadap seseorang atau perkara yang sama.
Sementara Pasal 4 menyatakan penghentian penuntutan dilakukan atas kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi. Lalu, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, respon dan keharmonisan masyarakat, serta kesusilaan dan ketertiban umum.
Adapun syarat penutupan tindak pidana dalam aturan ini meliputi:
1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana,
2. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan
3. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian tak lebih dari Rp2,5 juta.
(medcom)