seputar – Jakarta I Bulan depan kegiatan belajar mengajar akan kembali dilakukan di Tanah Air. Pemerintah telah mengisyaratkan pembukaan kembali sekolah di zona hijau.
Langkah tersebut ditanggapi oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menilai pembukaan sekolah masih belum tepat dilakukan saat ini. Kesiapan protokol kesehatan hingga angka kematian anak di masa pandemi Covid-19 menjadi alasan utama.
Ketua IDAI, Aman Pulungan, mengingatkan kemampuan tes PCR Indonesia masih jauh di bawah negara lain seperti Korea Selatan, bahkan Pakistan. Indonesia masih terlalu mengandalkan rapid test yang sebenarnya tak sepenuhnya bisa untuk mendiagnosis Covid-19.
“Ini tentu jadi kendala ketika sekolah buka kita tidak siap. Saat ini banyak yang buka hanya andalkan rapid test. Kalau untuk anak, kita tidak mau hanya rapid, harus PCR,” kata Aman saat menyampaikan paparan di DPR RI, Kamis (25/6).
Aman memberi contoh kasus-kasus di luar negeri, misalnya di New South Wales saat pembukaan sekolah mulai dilakukan dengan pengawasan. Hasilnya, dari 15 sekolah ada 18 kasus ditemukan. Padahal hasil uji PCR saat masuk sekolah negatif tapi kemudian tertular.
“Yang jadi pertimbangan kita bukan anak saja terinfeksi kalau dia pulang ke rumah ada dewasa, lansia dan komorbid yang mungkin terinfeksi,” kata dia.
Maka itu, Aman mengingatkan apabila sekolah hendak dibuka, meski di zona hijau sekalipun, maka harus diperkirakan peningkatan kasus. “Kalau kita mau buka sekolah berarti kita harus perkirakan kasus akan meningkat, berapa perawatan ICU, dan kematian yang akan meningkat,” kata dia.
Angka kematian anak Indonesia di masa pandemi Covid-19 juga dinilai mengkhawatirkan. IDAI menghimpun data sejak Maret, pada saat status Pandemi Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi nasional dari dokter-dokter yang melakukan perawatan pada anak.
Pada Mei lalu, jumlah anak yang positif Covid-19 di Indonesia mencapai 584 kasus. Sementara untuk jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) anak tercatat kurang lebih 3.400.
Jumlah kasus konfirmasi positif anak yang meninggal pada mencapai 14 anak. Adapun PDP anak yang meninggal sebanyak 129. Hingga Juni ini, jumlah anak yang meninggal baik dengan status PDP maupun positif dipastikan naik mencapai ratusan.
“Jadi kalau kami lihat, meninggal baik PDP maupun confirmed ini 200-an (meninggal), makanya kami bisa katakan untuk saat ini yang meninggal anak kita paling banyak di Asia bahkan mungkin di dunia saat ini untuk masa pandemi Covid-19, langsung atau tidak langsung,” kata Aman.
Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada 60 juta anak. “Bisa kita bayangkan berapa banyak potensi mereka tertular dan menularkan,” kata Aman.
Aman menambahkan, kondisi-kondisi meningkatnya mortalitas kasus anak meninggal menunjukkan belum terkendalinya Covid-19 di Indonesia.
Menurut Aman, dibandingkan India, Myanmar dan Pakistan, sebelum pandemi Covid-19, angka kematan bayi atau balita Indonesia lebih baik. Namun, saat Pandemi Covid-19 anak Indonesia lebih banyak yang meninggal. Meskipun penyebabnya tak mesti terkait Covid-19, Aman mengingatkan bahwa Covid-19 dapat memperparah keadaan.
“Kelahiran kita hampir 5 juta per tahun, dan sampai sekarang ini sudah 1 juta yang lahir. Kalau ini sampai akhir tahun, tentulah ada 3 jutaan anak yang akan lahir dan ini harus kita lindungi mereka yang lahir di masa pandemi,” kata Aman.
Aman mengatakan, salah satu permasalahan utama yang menjadi penyebab sulitnya mengontrol penyebaran Covid-19 pada anak adalah ketidakmerataan uji PCR di berbagai wilayah. Lambatnya waktu pengecekan pun berpengaruh pada lambatnya penanganan medis yang mestinya diberikan ke anak. (REP)
Foto : Ilustrasi (Istimewa)