seputar – Jakarta | Di tengah kemajuan teknologi, banyak konten-konten yang jauh dari mulai-nilai media seperti yang diatur dalam Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999. Fakta tersebut seperti temuan Dewan Pers, dalam beberapa waktu terakhir.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana menjelaskan, tidak sedikit media yang terkesan mengeksploitasi pornografi. Padahal, hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Pers.
“Jadi silakan aja publik kalau mau mengadili, silakan aja. Karena itu sudah buka media. Karena mereka udah bertentangan dengan Undang-undang Pers nomor 40 yang tidak boleh ada pornografi dan lain-lain,” kata Yadi dalam Communications Outlook 2023, Rabu (21/12/2022).
Dijelaskannya, media-media tersebut sengaja gemar mengangkat muatan pornografi, hanya untuk mencari clickbait. “Itu banyak sekali terjadi. Kenapa meraka melakukan itu? ya klik bait. Click bait ini yang sebetulnya merusak,” beber dia.
“Click bait ini yang berbahaya, kemudian merusak publik. Ini tidak ada pilihan bagi Dewan Pers, bahwa berita-berita sadis, berita-berita porno, harus take down. Itu bukan produk jurnalistik. Itu produk yang memang betul-betul merusak publik,” lanjut Yadi yang juga Ketua Departemen Hubungan Media ISKI itu.
Lebih jauh dijelaskanya, produk jurnalistik memiliki identitas tersendiri. Perlindungan yang diberikan Undang-undang Pers, hanya kepada mereka yang dalam melaksanakan aktifitas Jurnalistiknya sesuai dengan regulasi tersebut.
“Kami menganggap produk jurnalistik itu adalah produk-produk yang digarap secara profesional. Bahwa undang-undang Pers nomor 40 tahun 99 hanya melindungi jurnalis-jurnalis profesional yang bekerja profesional dan media profesional. Di luar itu nggak dilindungi oleh Undang-undang Pers,” tegas dia. (sindo)