seputar – Kairo | Pesawat EgyptAir MS804 hilang di Laut Mediterania dalam penerbangan dari Paris, Prancis ke Kairo, Mesir pada 19 Mei 2016 membawa 66 orang di dalamnya. Butuh waktu satu bulan bagi tim pencari untuk menemukan puing-puing pesawat tersebut.
Selama bertahun-tahun insiden yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat nahas itu diyakini sebagai akibat dari serangan teroris hingga penyelidikan mengungkapkan fakta baru.
Investigasi penyelidik Mesir, dikutip dari Okezone, Selasa (3/5/2022), awalnya mengatakan bahwa ada jejak bahan peledak di jasad korban EgyptAir MS804.
Laporan ini membuat Jaksa Agung Kairo memerintahkan penyelidikan keamanan negara yang mendesak, tetapi temuannya tidak pernah dipublikasikan.
Namun, dokumen rahasia hasil investigasi setebal 134 halaman yang disusun tim ahli di Prancis menyebutkan bahwa EgyptAir MS804 jatuh karena seorang pilot yang merokok di dalam kokpit.
Menurut dokumen yang dikirim ke Pengadilan Tinggi Paris tersebut, masker masker oksigen kopilot dibiarkan dalam mode “darurat” alih-alih “normal” oleh seorang insinyur pemeliharaan.
Laporan yang diperoleh surat kabar Italia Corriere della Sera itu menyebutkan bahwa rokok menyebabkan oksigen terbakar, memicu percikan api yang menyebabkan kebakaran, membuat sistem deteksi pesawat memberikan peringatan asap di bagian depan pesawat, sesaat sebelum EgyptAir MS804 hilang dari pantauan radar.
Sistem ACARS, yang mengirimkan pesan singkat antara pesawat dan stasiun darat, mengirim tujuh pesan dalam dua detik, termasuk peringatan tidak berfungsinya sistem komputer yang penting untuk mekanisme manuver penerbangannya.
Baik pilot, Mohammed Saied Ali Shokair, atau kopilot, Mohammed Ahmed Mamdouh Assem, tidak meminta bantuan, kata laporan itu, sebagaimana dilansir Al Jazeera.
Pada saat kecelakaan itu, pihak berwenang dalam keadaan siaga penuh menyusul serangan teroris di gedung konser Bataclan di Paris dan di Brussel yang terjadi pada akhir 2015.
Karena klaim terorisme, pihak berwenang Mesir tidak merilis temuan mereka dan tidak membuat laporan dalam waktu satu tahun, seperti yang ditentukan oleh hukum internasional.
Biro Penyelidikan dan Analisis Prancis untuk Keselamatan Penerbangan Sipil (BEA) menganalisis kotak hitam pesawat, tetapi perjanjian antar pemerintah mencegah pihak berwenang Prancis, yang tidak secara resmi bertanggung jawab atas penyelidikan tersebut, untuk membocorkan informasi apa pun.
Menurut Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), negara yang bertanggung jawab atas penyelidikan harus secara terbuka memberikan laporan dalam waktu 12 bulan setelah insiden tersebut. Jika tidak dapat melakukannya, mereka harus menerbitkan laporan sementara pada setiap peringatan tahunan insiden tersebut.
Pihak berwenang Mesir tidak pernah merilis temuan mereka, sementara pihak berwenang Prancis tidak dapat mengungkapkan informasi apa pun, meskipun faktanya 15 warga negara Prancis tewas dalam kecelakaan itu.
Sebuah sumber yang dekat dengan penyelidikan Prancis dikutip oleh media pada Mei 2017 mengatakan bahwa tidak ada jejak bahan peledak yang ditemukan di jasad korban Prancis di dalam pesawat.
Dalam pernyataan publik yang jarang terjadi, BEA mengatakan pada Juli 2018 bahwa “hipotesis yang paling mungkin adalah bahwa api dipicu di kokpit selama waktu jelajah dan menyebar dengan cepat, yang menyebabkan hilangnya kendali pesawat”.
Namun, dikatakan bahwa “perlu memiliki laporan akhir dari insiden tersebut untuk dapat menyampaikan kepada otoritas Mesir setiap perbedaan pendapat, sebagaimana ditetapkan oleh peraturan internasional”.
Keluarga para korban telah lama menuntut untuk mengetahui jawaban atas banyak pertanyaan mereka.(okezone)