seputar – Jakarta I Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok perang urat saraf atau
psychological war di markas Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, AS, saat membahas isu Hong Kong.
Hal itu terjadi setelah Tiongkok menolak permintaan AS untuk menggelar rapat Dewan Keamanan PBB guna membahas rancangan undang-undang (RUU) keamanan nasional bagi Hong Kong.
Seperti dilansir Reuters, Kamis (28/5/2020), misi AS untuk PBB dalam pernyataannya menyebut bahwa isu itu menjadi ‘keprihatinan global yang mendesak yang berimplikasi pada perdamain dan keamanan internasional dan untuk itu, menuntut perhatian segera dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB.
Dalam tanggapannya via Twitter, Duta Besar Tiongkok untuk PBB, Zhang Jun, menegaskan Tiongkok dengan tegas menolak permintaan tak berdasar itu karena RUU keamanan nasional untuk Hong Kong merupakan urusan internal.
“Tidak ada hubungannya dengan mandat Dewan Keamanan (PBB),” tegas Zhang.
Permintaan AS untuk menggelar rapat Dewan Keamanan PBB guna membahas isu Hong Kong itu bertepatan dengan ketegangan yang semakin meningkat antara AS dan Tiongkok terkait pandemi virus Corona (COVID-19).
AS mempertanyakan transparansi Tiongkok soal virus yang pertama muncul di Wuhan dan kini mendunia itu. Tiongkok berulang kali menegaskan pihaknya sudah transparan soal virus Corona.
Dalam pernyataannya, otoritas AS menyebut bahwa penolakan Tiongkok terhadap rapat Dewan Keamanan PBB membahas Hong Kong itu tak jauh berbeda dengan perilaku Tiongkok dalam ‘menutupi dan salah urus krisis COVID-19, juga pelanggaran terus-menerus terhadap komitmen HAM internasional dan perilaku melanggar hukum di Laut Tiongkok Selatan, yang harusnya memperjelas kepada semua bahwa Beijing tidak bertindak sebagai negara anggota PBB yang bertanggung jawab’.
Zhang punya respons tersendiri terhadap tuduhan AS itu. “Fakta-fakta membuktikan berulang kali bahwa AS adalah pembuat masalah di dunia. AS-lah yang telah melanggar komitmen di bawah hukum internasional. Tiongkok mendorong AS untuk segera menghentikan politik kekuasaan dan praktik-praktik intimidasi,” ucapnya.
RUU keamanan nasional untuk Hong Kong akan melarang makar, pemisahan diri, penghasutan dan subversi. Tiongkok mengatakan aturan hukum itu perlu untuk menghadapi demonstrasi disertai kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut.
Para kritikus menilai RUU itu menjadi upaya langsung Tiongkok untuk membatasi kebebasan Hong Kong, yang tertera dalam konstitusi kecil yang disepakati ketika kedaulatan Hong Kong dikembalikan ke Tiongkok oleh Inggris tahun 1997. Namun, Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam membantah undang-undang itu akan membatasi hak-hak penduduk Hong Kong.
Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, menuturkan kepada Kongres bahwa Hong Kong tidak lagi memenuhi syarat untuk menyandang status khusus di bawah aturan hukum AS karena Tiongkok telah merusak otonomi Hong Kong. Tanpa status khusus itu, Hong Kong akan kehilangan gelar sebagai pusat finansial global. (MDNC)
Teks Foto : Ilustrasi (Istimewa)