seputar-MedanI Polda Metro Jaya membongkar komplotan pembuat materai tempel palsu Rp 6.000 dan Rp 10.000 yang sudah berjalan 3,5 tahun. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 37 miliar
Dalam hal ini Polda Metro Jaya menetapkan tujuh tersangka penjualan materai palsu. Tujuh tersangka ini memiliki peran berbeda-beda dalam melakukan aksinya.
“Ketujuh tersangka telah merugikan negara sebesar Rp 37 miliar atas perbuatannya yang menjual materai palsu sejak 3,5 tahun lalu,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus dalam konferensi pers virtual tentang pengungkapan pemalsuan materai tempel, Rabu (17/3/2021).
Atas perbuatannya, tersangka dianggap telah merugikan negara dan dikenakan pasal berlapis hingga hukuman tujuh tahun penjara.
“Kami akan lapis di pasal KUHP di 251, 256, 257 KUHP, kemudian di UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang bea materai. Bahkan kami lapis lagi nanti dengan UU Nomor 8 tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU). (Hukuman) 7 tahun penjara, ada yang 6 tahun penjara karena ini terus terang merugikan keuangan negara yang cukup besar,” kata Yusri.
Yusri menjelaskan, tersangka berinisial S adalah otak di balik bisnis materai palsu ini, yang sempat menjadi buronan dengan kasus yang sama pada 2019.
“S ini adalah otaknya pada saat itu melarikan diri, nah sekarang kita temukan dan dia juga masih bekerja yang sama. Dia perannya ini pemilik mesin-mesin. Tersangka kita amankan di daerah Bekasi Barat, tempat mereka melakukan materai palsu,” paparnya.
Tersangka kedua berinisial BST yang berperan sebagai pemesan materai palsu yang dibeli dari tersangka berinisial WID. Tersangka WID ini merupakan perempuan yang berperan sebagai pengelola akun di media sosial untuk memasarkannya.
“Cuma pintarnya dia setiap memasarkan, yang membeli sudah 2-4 kali, dia akan ubah lagi akunnya untuk menghindari pelacakan dari aparat dalam hal ini,”imbuhnya.
Tersangka WID, kata Yusri, dalam memasarkan materai palsu di media sosial diajarkan oleh suaminya berinisial ASR yang menjadi napi di Lapas Salemba dengan kasus yang sama. Atas perannya tersebut, ASR kini kembali ditetapkan sebagai tersangka.
“Dia (suami WID) napi sejak 2018 dengan vonis 3 tahun lebih, sekarang masih tapi kita tetapkan dia sebagai tersangka, inisialnya ASR,” sebutnya.
Tersangka kelima memiliki peran mendesain materai palsu berinisial SMK dan HND sebagai tersangka keenam berperan menyiapkan hologram. Sedangkan tersangka yang masih bersifat Daftar Pencarian Orang (DPO) berinisial SMR, berperan sebagai penjahit yang tugasnya membuat lubang-lubang di materai palsu atau disebut perforasi.
“Materai dikirim melalui collect item di sana untuk mengelabui para aparat yang ada. Dari sini lah kita tahu, kemudian kita melakukan penyelidikan dan menemukan para pelaku-pelaku semua,” jelasnya.
Sementara itu Direktur Pelayanan, Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Neilmaldrin Noor mengingatkan agar masyarakat bisa selalu memastikan keaslian dari materai yang dibeli.
“Jika masyarakat menemukan penjualan materai di bawah harga nominal yang tertera hampir bisa dipastikan bahwa materai itu palsu,” tuturnya dalam konferensi pers tersebut.
Neilmaldrin menambahkan, jika masyarakat menyadari bea materai yang digunakan palsu setelah transaksi, pemerintah dapat menggantikannya dengan materai yang sah. Ini sesuai dengan Undang-Undang Bea materai terbaru Nomor 10 tahun 2020.
“Bisa kami ganti dengan materai yang sah apabila ada yang mengetahui dan bisa membedakan setelah ada transaksi atau penandatanganan,” kata Neilmaldrin d
Ketentuan tersebut diatur dalam Bab VI UU 10/2020 tentang pemateraian kemudian. Dalam pasal 17 beleid itu, pemateraian dilakukan untuk dokumen yang bea materainya tidak atau kurang dibayar dan/atau digunakan sebagai alat bukti pengadilan.
Sedangkan Direktur Operasi Percetakan Uang Republik Indonesia Saiful Bahri mengatakan, terdapat tiga indikator untuk membedakan materai asli dengan yang palsu. “Pendekatan itu yakni dilihat, diraba, dan digoyang,” kata Saiful dalam kesempatan yang sama.
Pertama, dilihat sisi perforasi atau lubang kecil yang ada di sebelah kiri materai. Terdapat tiga bentuk umum lubang kecil pada materai yang asli yakni oval, bulat, dan bintang.
Menurut dia, perforasi pada materai tidak mungkin bisa dipalsukan. “Ini karena teknologi perforasi cukup spesifik dan tidak ada yang punya di Indonesia,” ujar dia.
Kedua, diraba nominal angka yang terletak pada materai. Nominal Rp 6 ribu maupun Rp 10 ribu pada materai yang asli akan kasar jika diraba.
Hal tersebut karena teknologi cetak materai khusus yang hanya boleh dimiliki oleh Peruri. Tetapi, jika nominal pada materai terlihat dan sudah diraba tidak kasar, materai tersebut dicetak hanya menggunakan mesin cetak biasa.
Ketiga, digoyang materainya untuk mengetahui perubahan warna. “Kalau yang palsu sepintas memang warnanya mirip tetapi jika digoyang biasanya tidak terjadi perubahan warna karena teknologinya berbeda,” katanya.
Selain itu, Saiful menuturkan bahwa ornamen-ornamen yang ada dalam materai harus diperhatikan secara rinci. Ini karena tidak semua materai palsu menyertakan ornamen materai yang lengkap seperti lambang Garuda Pancasila, logo Kemenkeu, dan Ditjen Pajak. (Siong)