seputar-Medan | Canakya Suman, terdakwa perkara penggelapan dan penipuan atas peminjaman kredit di Bank Tabungan Negara (BTN) dengan modus mengagunkan 93 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) mengaku membeli sertifikat tersebut dari Mujianto, pengusaha properti asal Kota Medan.
Canakya bahkan mengaku, ke-93 sertifikat tersebut belum dibaliknamakan ke namanya, tetapi sudah diagunkan ke BTN demi peminjaman uang sebesar Rp39,5 miliar.
“Selaku debitur, saya meminjamkan kredit konstruksi untuk membangun perumahan di Kompleks Graha Helvetia. Nilai pinjamannya Rp39,5 miliar dengan jaminan 93 SHGB milik saya yang saya beli dari Mujianto,” ucap Canakya kepada Majelis Hakim yang diketuai Tengku Oyong dalam sidang yang digelar di Ruang Cakra 7 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jumat (27/11/2020).
Direktur PT Krisna Agung Yuda Abadi (KAYA) ini pun mengaku sudah melunasi 48 dari 93 SHGB ke pihak BTN. Hanya saja, cara pengambilan SHGB yang sudah dilunasi tersebut melalui notaris Elvira dan staf notaris bernama Sulianto alias Pak Lek atas arahan pihak BTN.
“Saya membeli dari Mujianto dan mengagunkan ke BTN. Sertifikat belum balik nama dan masih nama Mujianto. Sebagian sudah saya tebus. Ada 48 SHGB yang sudah saya tebus ke pihak BTN. Caranya saya depositkan uang saya ke ATM dan secara otomatis auto debet. Syaratnya adalah surat permohonan penebusan sertifikat yang ditujukan ke BTN. Rp515 juta per satu sertifikat. BTN tidak ada mengeluarkan sepucuk surat pun dan hanya mengarahkan ke notaris untuk pengambilan SHGB yang sebelumnya jadi agunan,” jelasnya.
Ia pun mengaku, awalnya sejak tahun 2014 awal proses peminjaman uang tersebut, kondisi kredit tidak ada masalah. Hanya saja pada akhir 2017 menuju awal 2018, pembayaran kredit ada kendala.
Terkait pengambilan 48 SHGB yang telah dilunasi, terdakwa mengatakan setelah mendapat arahan dari pihak BTN, lalu ia menemui notaris Elvira. Dan setelah itu ia diarahkan untuk berurusan dengan Pak Lek, staf notaris.
“Ada beberapa kali kami bertemu di Cambridge dan setiap pertemuan saya kasih Pak Lek 100 ribu,” ucapnya.
Usai mendengarkan keterangan terdakwa, lalu majelis hakim mengagendakan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan surat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nelson dari Kejati Sumut pada 1 Desember 2020.
Perkara itu sendiri mendapat sorotan khusus dari bidang Pidsus Kejati Sumut dengan membentuk tim pemeriksa guna pengusutan adanya indikasi dugaan korupsi atas proses pengucuran kredit tersebut.
Bahkan, tim Pidsus yang telah dibentuk juga sudah melakukan pemanggilan terhadap petinggi bank plat merah itu.
“Benar, saya sudah checking ke bagian Pidsus, tim jaksa ada melakukan pengusutan terkait kasus dugaan korupsi lewat pengucuran fasilitas kredit pada BTN Cabang Medan,” kata Kasipenkum Kejati Sumut Sumanggar beberapa waktu lalu.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sumut Agus Sahat Lumban Gaol SH MH yang dikonfirmasi wartawan, membenarkan pihaknya di Pidsus sedang menangani kasus itu. Bahkan pihaknya sudah melakukan pemanggilan pihak terkait di BTN dalam rangka permintaan keterangan. Namun Aspidsus Kejati Sumut yang mantan Kajari Pontianak ini, belum bersedia merinci materi kasusnya karena masih dalam proses penyelidikan.
Mengutip dakwaan JPU Nelson Victor mengatakan kasus bermula pada tahun 2014, Canakya sebagai Direktur PT Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA) mengajukan kredit pinjaman kepada BTN Cabang Medan dengan nilai sebesar Rp39,5 miliar dengan jaminan sebanyak 93 buah SHGB atas nama PT Agung Cemara Realty.
“Di mana saksi Mujianto memberikan kuasa kepada terdakwa Canakya di Kantor Notaris Elvira untuk menjual 93 SHGB dan berdasarkan hal tersebut terdakwa mendapat pinjaman kredit sebesar Rp39,5 miliar,” kata JPU.
Selanjutnya, di hadapan saksi Notaris Elviera, terdakwa memberikan kuasa kepada saksi Ferry Sonefille Abdullah SE selaku Kepala Kantor BTN Cabang Medan untuk menjual ke-93 SHGB yang dijadikan jaminan kredit sebelumnya.
Kemudian, pihak BTN Cabang Medan melakukan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama Nomor : 00640/Mdn.I/A/III/2011 tentang Pelayanan Jasa Notaris dan PPAT dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit oleh Bank Negara.
Awalnya, perjanjian tersebut berjalan lancar di mana sebanyak 58 SHGB telah dilakukan pembuatan Akte Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
“Namun, terhadap 35 SHGB yang belum dilakukan APHT, terdakwa Canakya menghubungi saksi Sulianto alias Pak Lek selaku staf notaris Elviera untuk meminta ke-35 SHGB, yang sebelumnya terlebih dahulu memberitahukan kepada saksi Notaris Elviera,” urai JPU.
Selanjutnya Sulianto menghubungi terdakwa Canakya untuk janji bertemu di Cambridge Hotel dan menyerahkan 35 SHGB tersebut kepada terdakwa Canakya.
Di mana terdakwa Canakya memberikan uang kepada saksi Sulianto secara bervariasi antara Rp100 ribu hingga Rp300 ribu dan seterusnya perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa Canakya hingga akhirnya ke-35 sertifikat tersebut berada di tangan terdakwa Canakya.
Pada bulan Juni 2016 sampai dengan Maret 2019 terdakwa mengalihkan dan atau menjual ke-35 sertifikat tersebut kepada orang lain tanpa seizin dari pihak BTN Cabang Medan.
Akibat perbuatan terdakwa Canakya, BTN Cabang Medan mengalami kerugian berupa hilangnya 35 SHGB yang bernilai kurang lebih sebesar Rp14.775.000.000.
“Atas perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 374 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana subs Pasal 372 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana subs Pasal 378 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana,” pungkas JPU. (AFS)