seputar-Jakarta | Seorang mantan polisi dengan pangkat terakhir Ajun Inspektur Satu (Aiptu) bernama Ismail Bolong mengaku sering menyetor uang kepada petinggi polisi di jajaran Polda Kalimantan Timur dan Bareskrim Polri sebagai imbalan atas perlindungan yang diberikan terkait kegiatan tambang ilegal batu bara.
Uang suap tambang itu disalurkan Ismail kala masih bertugas di Satuan Intelijen Keamanan (Satintelkam) Polresta Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim).
Ismail juga merupakan pengusaha tambang ilegal di wilayah Santan Ulu, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim. Dia melaksanakan kegiatan usaha pertambangan sejak Juni 2020 sampai Desember 2021. Hasil batu bara ilegal dijual oleh Ismail kepada seseorang bernama Tan Paulin.
CNNIndonesia.com menerima dua salinan Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) yang dilakukan Propam Polri terkait penambangan batu bara ilegal yang dibekingi dan dikoordinasikan oleh anggota Polri serta Pejabat Utama (PJU) Polda Kaltim.
Laporan pertama merupakan LHP yang diserahkan Karo Paminal Propam Polri saat itu Brigjen Hendra Kurniawan kepada Kadiv Propam Polri saat itu Ferdy Sambo. Laporan itu tercatat dengan nomor: R/ND-137/III/WAS.2.4/2022/Ropaminal tertanggal 18 Maret 2022.
Laporan kedua merupakan LHP yang diserahkan Ferdy Sambo kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. LHP itu teregister dengan nomor: R/1253/IV/WAS.2.4/2022/DivPropam tertanggal 7 April 2022.
Divisi Propam Polri menemukan dugaan pemberian uang koordinasi kepada Bareskrim Polri.
Uang tersebut diserahkan Ismail melalui Kombes Budi Haryanto selaku Kasubdit V Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri. Ismail menyerahkan uang sebesar Rp3 miliar selama tiga kali pada periode Oktober, November, dan Desember 2021.
“Sebesar Rp3 miliar setiap bulan untuk dibagikan di Dittipidter Bareskrim Polri,” demikian dikutip dari LHP tersebut.
Dari hasil penyelidikan Propam, Ismail disebut juga memberikan uang koordinasi kepada Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto. Uang diserahkan langsung kepada Agus di Gedung Bareskrim Polri.
“Dalam bentuk US$ sebanyak tiga kali yaitu bulan Oktober, November dan Desember 2021 senilai Rp2 miliar setiap bulannya,” bunyi LHP.
Pertemuan Agus dan Ismail terjadi berkat peran Budi Haryanto yang disebut memiliki jaringan dengan para pengusaha tambang batu bara ilegal di Kaltim.
Budi pun disebut turut menerima uang koordinasi untuk kebutuhan operasional setiap bulan. Satu di antaranya terkait operasional kunjungan pimpinan sebesar Rp800 juta dari Ismail.
Adapun besaran uang koordinasi yang diterima Budi berkisar antara Rp500-700 juta setiap bulannya. Sementara total uang yang telah diterima Budi diperkirakan mencapai Rp3-5 miliar.
“Selama menjabat sebagai Kasubdit V Dittipidter tidak pernah melakukan penindakan penambangan batu bara ilegal di Provinsi Kaltim dengan alasan adanya kebijakan dari atas Dirtipidter Bareskrim Polri,” sebagaimana tertuang dalam LHP.
Aliran uang tambang ilegal ini juga mengucur ke sejumlah PJU di Polda Kaltim. Para pengusaha tambang batu bara ilegal yang terbukti memberikan sejumlah uang suap yaitu H. Hakim, Nolan, Aan, Cipto, Adnan, Sutris, Burhan, Sani, dan Sahli.
Kemudian Ismail Bolong, Muhadi, Irwansyah, Fritz, Arya, Muhsin, dan Muhaimin.
Propam menyebut sebagian besar hasil penambangan batu bara ilegal itu dijual kepada Tan Paulin dan Leny yang diduga memiliki kedekatan dengan PJU Polda Kaltim.
Pemberian uang suap tersebut dilakukan para pengusaha batu bara ilegal sejak Juli 2020. Penyerahan uang melibatkan Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Kombes Bharata Indrayana sesuai arahan Kapolda Kaltim Irjen Herry Rudolf Nahak.
Uang suap tersebut nantinya dibagikan kepada sejumlah PJU Polda Kaltim dan Polres di wilayah penambangan batu bara ilegal. Pengelolaan uang suap tersebut dikoordinasikan oleh Bharata sejak Juli 2020 sampai September 2021.
“Dengan sistem pembagian bervariasi antara Rp30.000,- sampai dengan Rp80.000,- per metrik ton,” tertuang dalam LHP.
Dalam laporannya, Propam menemukan penerimaan uang suap itu sempat berganti dan dikelola oleh Kombes Indra Lutrianto Amstono yang diangkat menjadi Dirreskrimsus Polda Kaltim.
Nahak menerima uang suap sebesar 50 persen atau sekitar Rp5 miliar, sementara Wakapolda Kaltim Brigjen Hariyanto menerima sebesar 10 persen atau sekitar Rp1 miliar.
Selanjutnya Irwasda Polda Kaltim Kombes Jefrianus sebesar 8 persen atau sekitar Rp800 juta serta Dirintelkam Polda Kaltim Kombes Gatut dan Dirpolairud Polda Kaltim Kombes Tatar masing-masing sebesar 6 persen atau setara Rp600 juta.
Kemudian Indra mengambil bagian uang sekitar 9 persen atau setara Rp900 juta. Selain itu, Kasubdit Tipidter AKBP Era Joni dan AKBP Bimo Aryanto masing-masing sekitar 5 persen atau setara Rp500 juta.
“Kapolres yang wilkumnya terdapat kegiatan penambangan batu bara ilegal, Polres Kukar, Polresta Samarinda dan Polres Paser, 6 persen setara Rp600 juta,” bunyi LHP.
Propam menyebut Kapolres Kutai Kartanegara AKBP Arwin Amrih Wientama sempat menerima uang koordinasi dari Bharata sebesar Rp600 juta pada Agustus 2021 dan Rp300 juta pada September 2021.
Arwin kemudian kembali menerima uang suap dari Indra sebesar Rp500 juta pada Desember 2021 dan Rp515 juta pada Januari 2022.
Arwin juga tercatat membagikan uang suap kepada Kasat Polair AKP Teuku Zia Fahlevi, Kasat Intelkam AKP Wawan Aldomoro, dan Kasat Reskrim AKP Dodik Santoso masing-masing antara Rp45-50 juta.
Sebelumnya, eks Kapolda Kaltim Irjen Herry Rudolf Nahak sudah pernah dihubungi terkait kasus dugaan suap tambang ilegal tersebut. Namun hingga berita ini ditayangkan masih belum memberikan respons terhadap pertanyaan yang dilayangkan.
Kabareskrim Bantah
Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto membantah telah menerima uang suap dari kegiatan penambangan batu bara ilegal di Kaltim.
Agus berpendapat keterangan dalam surat penyelidikan tambang ilegal yang menyeret namanya tidak cukup dijadikan sebagai bukti bahwa dia terlibat.
“Keterangan saja tidak cukup,” ujar Agus.
Agus menambahkan Ismail Bolong dalam video yang beredar juga sudah meluruskan informasi bahwa tidak ada keterlibatan dirinya. Dia menegaskan bahwa pengakuan Ismail yang menyebut dirinya menerima suap terpaksa diucapkan karena ada intimidasi.
“Apalagi sudah diklarifikasi karena dipaksa,” terang jenderal polisi bintang tiga ini.
Agus justru menuding LHP tambang ilegal yang diteken Ferdy Sambo bisa saja direkayasa dan ditutupi.
Dia pun menyamakan LHP itu dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) yang direkayasa oleh Sambo.
“Maklumlah kasus almarhum Brigadir Yosua aja mereka tutup-tutupi. Lihat saja BAP awal seluruh tersangka pembunuhan almarhum Brigadir Yosua, dan teranyar kasus yang menjerat IJP TM yang belakangan mencabut BAP juga,” tandasnya.
Jadi Sorotan
Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto dan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Agus diduga terlibat dalam dugaan suap tambang ilegal yang sempat diselidiki Sambo.
Mantan Karo Paminal Hendra Kurniawan sebelumnya mengamini adanya laporan dugaan keterlibatan Agus Andrianto dalam tambang ilegal di Kalimantan Timur. Agus disebut menerima setoran sebagai uang koordinasi.
Pengakuan Hendra muncul usai Ferdy Sambo juga mengonfirmasi surat laporan yang beredar.
“Ya kan sesuai faktanya begitu (Kabareskrim diduga terima suap tambang ilegal),” ujar Hendra kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Agus telah membantah disebut menerima uang suap dari tambang ilegal. Menurutnya, keterangan dalam surat penyelidikan tambang ilegal yang menyeret namanya tidak cukup dijadikan sebagai bukti dirinya terlibat.
Ia juga mengatakan Ismail Bolong dalam video yang beredar sudah meluruskan bahwa tidak ada keterlibatan dirinya.
Tuding Sambo-Hendra Terima Setoran
Ia justru mempertanyakan tindakan Ferdy Sambo dan Hendra Kurniawan yang tidak menindak semua nama yang tertera di dua laporan hasil penyelidikan.
Agus menuding balik dua orang itu justru yang menerima uang ‘setoran’.
“Jangan-jangan mereka yang terima dengan tidak teruskan masalah, lempar batu untuk alihkan isu,” katanya.
Jenderal bintang tiga itu juga menyebut laporan hasil penyelidikan kasus tambang yang diteken oleh Sambo itu bisa saja direkayasa dan ditutupi. (cnnindonesia)