seputar-Jakarta | Tajikistan belakangan menjadi sorotan usai mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan hijab dan memelihara janggut bagi pria.
Parlemen negara mayoritas Muslim tersebut kemudian mengadopsi rancangan undang-undang (RUU) mengenai “tradisi dan perayaan.”
RUU itu melarang penggunaan, mengimpor, menjual, dan memasarkan “pakaian asing bagi budaya Tajik”. Mayoritas pejabat dan publik menyebut larangan itu ditujukan terhadap pakaian khas Muslim.
Salah satu alasan pemerintah melarang penggunaan hijab dan atribut keagamaan lainnya adalah “demi melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul serta ekstremisme”.
Alasan paling mendasar penerapan kebijakan itu bahwa Tajikistan yang dipimpin pemerintah otoriter Presiden Emomali Ramonov semakin waswas dengan pengaruh radikalisme terutama yang dibawa teroris ISIS.
Di bawah kepemimpinan Rahmonov, Tajikistan memang hendak dijadikan sebagai negara yang sekuler. Rahmonov menggunakan dalih memberantas ekstremisme untuk menggencarkan kebijakan sekularisme di negara tersebut.
Beberapa kebijakan itu misalnya memaksa warga mencukur jenggot, membatasi usia orang yang masuk masjid, melarang penggunaan hijab, hingga menutup masjid besar-besaran.
Langkah ini diambil karena rezim Tajikistan ingin melanggengkan otoritarianisme. Ini juga untuk menghalangi rakyat Tajikistan kembali kepada syariat Islam yang dianggap radikal oleh pemerintah.
Larang Nama Arab
Menurut data sensus penduduk 2020, 96 persen dari total sekitar 10,3 juta penduduk Tajikistan merupakan umat Muslim.
Pada awal 2016, Tajikistan juga pernah merancang undang-undang yang melarang penggunaan “nama asing”, terutama yang berbau Arab dan Islam.
Dalam pembahasan amandemen UU tentang Keluarga dan Pencatatan Sipil pada Januari 2016 itu, Menteri Kehakiman Tajikistan Rustam Shohmurod menilai nama “asing” telah menyebabkan perpecahan dalam masyarakat Tajik.
Menurut media lokal saat itu, larangan soal nama ini bertujuan melawan tren yang berkembang di negara Asia Tengah tersebut, di mana semakin banyak orang tua yang memberikan nama anak-anak mereka dengan nama khas Arab.
RUU ini muncul setelah Presiden Rahmon memerintahkan parlemennya mempertimbangkan larangan pendaftaran nama yang dianggap terlalu Arab, kata seorang pejabat di departemen catatan sipil Kementerian Kehakiman kepada Interfax seperti dikutip The Guardian pada 2015 lalu.
“Setelah peraturan ini disahkan, kantor pendaftaran tidak akan mendaftarkan nama yang salah atau asing dengan budaya setempat, termasuk nama yang menunjukkan benda, flora dan fauna, serta nama asal Arab,” kata seorang pejabat di Kementerian Pencatatan Sipil Tajikistan, Jaloliddin Rahimov.
Saat itu, RUU tersebut diyakini bakal mendapat persetujuan parlemen dan akhirnya disahkan menjadi undang-undang oleh sang presiden seumur hidup Tajikistan.
Sebab, sejak 1994 berkuasa, Rahmon terus berupaya menjadikan Tajikistan negara sekuler dengan mempromosikan nilai-nilai paham tersebut dan mencegah praktik keagamaan dan keyakinan yang ia anggap asing mengakar dalam kehidupan politik dan sosial negara tersebut.
Dikutip Radio Free Europe, nama-nama yang berasal dari tokoh Isma seperti Sumayah, Aisha, dan Asiya yang dulunya hampir tidak ada di Tajikistan kini menjadi nama terpopuler untuk anak perempuan dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, nama Muhammad, Yusuf, hingga Abubakr juga kian populer di kalangan anak laki-laki Tajikistan.
RUU itu juga melarang penambahan nama awalan berbau Arab seperti Mullah, Khalifa, Syekh, Amir, hingga Sufi pada laki-laki.
Saat itu, Komite Bahasa dan Terminologi Tajikistan sampai merilis daftar 4.000 nama yang direkomendasikan untuk bayi yang baru lahir.
Daftar nama tersebut sebagian besar terdiri dari nama-nama khas Tajik atau Persia yang “murni” dan telah didistribusikan ke kantor pendaftaran sipil di seluruh negeri untuk membantu orang tua memilih nama untuk bayi mereka.
Dalam rapat parlemen, ketua majelis rendah saat itu, Shukurjon Zuhurov, mengatakan bahwa memilih nama-nama dari daftar yang disiapkan pemerintah itu tidaklah wajib. Namun dia mengatakan orang tua harus memilih nama yang “sesuai dengan budaya Tajik.”
Sementara itu, Komite bahasa mengatakan amandemen tersebut hanya berlaku untuk etnis Tajik dan tidak akan berlaku untuk etnis minoritas. Tajikistan memiliki etnis minoritas Uzbek yang besar, serta kelompok kecil Kyrgyzstan, Rusia, dan lainnya.
Gencar menumpas ekstremisme
Sejak runtuhnya Uni Soviet, gerakan-gerakan Islam merajalela di Tajikistan. Gerakan-gerakan ini umumnya bertujuan membangun Khilafah Islamiyah di Asia Tengah.
Kondisi ini pun satu persatu dicegah dan diberantas oleh rezim Tajikistan yang condong dengan Barat. Kendati begitu, upaya represi semacam ini justru mendorong peningkatan ekstremis di negara tersebut.
Pada 2021, setelah Taliban mengambil alih Afghanistan, gelombang ekstremis menyapu Tajikistan. Tajikistan berbagi perbatasan dengan Afghanistan sepanjang 1.356 kilometer.
Menurut pemerintah Tajikistan, Afghanistan utara merupakan sumber utama aktivitas teroris. Wilayah itu disebut menampung ribuan ekstremis.
Kekhawatiran utama Tajikistan ini mengacu pada ISIS-K dan Jamaat Ansarullah, yang beroperasi dari Afghanistan.
Dilansir dari CNN, ISIS-K dipimpin oleh warga Tajik yang baru-baru ini melakukan serangkaian serangan di Eropa, termasuk serangan Crocus Hall di Moskow pada Maret lalu yang menewaskan lebih dari 100 orang.
ISIS-K sangat sulit diberantas lantaran ada kesenjangan dalam informasi intelijen yang selama ini dikumpulkan AS.
Tidak seperti Al Qaeda yang melatih dan mengerahkan para anggota seperti dalam serangan 9/11, ISIS-K berfokus pada radikalisasi populasi rentan.
Tajikistan merupakan salah satu negara termiskin di dunia di mana penduduknya juga menghadapi penindasan agama yang ekstrem. Ahli terorisme percaya kedua faktor ini menyebabkan penduduk Tajikistan rentan terhadap radikalisasi terorisme.
Dikutip dari The Guardian, laporan intelijen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Maret lalu menunjukkan bahwa ISIS merekrut militan dari Jamaat Ansarullah selama 12 bulan terakhir.
Kelompok ini mengincar warga Tajik dan negara-negara Asia Tengah rentan lainnya melalui propaganda yang disiarkan di media sosial.
Selama beberapa tahun terakhir, warga Tajik dilaporkan terlibat dalam beberapa plot terorisme di Eropa dan Turki. Pada Januari, dua militan ISIS menyerang sebuah gereja di Istanbul yang menewaskan satu orang dan melukai sejumlah orang lain.
Kelompok itu juga bertanggung jawab atas serangan di bandara internasional Kabul pada 2021 yang menewaskan 13 tentara AS dan lebih dari 150 warga sipil.
Dilansir dari situs Kementerian Luar Negeri AS, sejak 2021, pemerintah Tajikistan akhirnya mengintensifkan upaya kontraterorisme.
Pada 2022, AS pun membantu negara itu untuk merenovasi dan membangun pos-pos perbatasan dan pos pemeriksaan di sepanjang perbatasan Tajikistan-Afghanistan.
AS juga menyediakan peralatan dan pelatihan untuk meningkatkan keamanan perbatasan dan kemampuan kontraterorisme Tajikistan. (cnnindonesia/ss)