seputar – Jakarta | Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus anjlok beberapa waktu belakangan. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka bisa berdampak pada gejolak sosial dan politik.
Di awal Pemerintahan Jokowi pada 2014, rupiah sempat berada di level sekitar Rp12 ribu. Kini, di ujung Pemerintahan Jokowi, rupiah sudah jatuh makin dalam, menyentuh Rp16.420 per dolar AS pada Kamis (27/6).
Rupiah bahkan serapuh empat tahun lalu atau saat pandemi Covid-19. Nilai tukar rupiah menyentuh level Rp16.376 per dolar AS pada 4 April 2020.
Indonesia punya cerita tersendiri soal anjloknya nilai tukar rupiah. Pada 1998, pelemahan nilai tukar rupiah menyeret Indonesia pada krisis ekonomi, hingga merembet pada krisis politik.
Ekonom Thee Kian Wie dalam buku Dari Krisis ke Krisis menjelaskan krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998, sama sekali tidak terduga. Berbeda dengan krisis ekonomi Indonesia pada 1960, yang sudah banyak diramal karena adanya pengabaian terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi.
Di masa 1990-an itu, ekonomi Indonesia dilaporkan tumbuh pesat dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,6 persen per tahun.
“Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berkelanjutan selama tiga dasawarsa sejak akhir 1960-an berhasil menekan tingkat kemiskinan, suatu kinerja yang belum pernah ada presedennya,” ungkap Thee.
Thee menyampaikan krisis keuangan dan ekonomi di Indonesia pada 1997-1998 itu disebabkan berbagai faktor.
Pada 1996 di Thailand, kepercayaan investor asing tergerus oleh penurunan tajam pertumbuhan ekspor serta membesarnya defisit transaksi berjalan.
Hal itu menyebabkan aliran modal dan spekulasi terhadap mata uang baht karena orang meramalkan akan dilakukan devaluasi untuk mengerem merosotnya pertumbuhan ekspor.
Begitu ramalan muncul dan modal portofolio hengkang ke luar negeri, proses krisis mengalami peningkatan momentum.
“Sejak pertengahan 1996, hingga paruh pertama 1997, Bank Sentral Thailand mencoba mempertahankan nilai baht terhadap serangan para spekulan. Untuk tujuan ini, Bank Sentral mengintervensi pasar mata uang dengan mengeluarkan lebih dari 23,4 miliar dolar dari cadangan totalnya yang sekitar 39 miliar dolar,” kata Thee.
Setelah upaya itu gagal, pada Juli 1997, Bank Sentral Thailand terpaksa mengambangkan nilai baht. Melalui efek penularan, krisis nilai mata uang Thailand menyebar ke negara ASEAN lainnya, termasuk Malaysia, Filipina dan Indonesia.
Thee menjelaskan hanya tiga pekan setelah baht diambangkan, nilai tukar rupiah mengalami tekanan kuat ketika para investor dan kreditor asing berebut menghindari Indonesia dengan memindahkan modal mereka ke luar negeri.
Demikian juga dengan perusahaan-perusahaan Indonesia sendiri. “Akibatnya rupiah terus terdepresiasi dengan pesat meskipun Bank Indonesia berusaha mengintervensi pasar dengan menjual dolar,” tulis dia.
Selama kurun waktu Desember 1997 sampai Januari 1998, nilai rupiah terus menurun. Surat perjanjian kedua dengan IMF yang diteken Presiden Soeharto pada Januari 1998 gagal mengembalikan kepercayaan pasar terhadap rupiah.
Pada pertengahan Januari 1998, rupiah jatuh menjadi Rp17 ribu per dolar AS, hanya sepertujuh dari nilai sebelum krisis.
Thee berpendapat ketidakmampuan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi kemudian menimbulkan krisis politik yang parah.
Krisis Merembet
Ester Indahyani Jusuf dkk dalam buku Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa menjelaskan krisis ekonomi membuat berbagai pabrik tutup akibat mahalnya bahan dan suku cadang impor. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terhindarkan.
Kondisi ini diperburuk dengan El Nino yang membuat banyak panen gagal. Pengangguran yang kemudian memilih pulang kampung dihadapkan pada kondisi petani-petani yang gagal panen.
Pada sisi lain, akibat terjadinya kenaikan harga pada hampir semua barang dan terganggunya jalur dan proses perdagangan, barang-barang kebutuhan masyarakat, khususnya sembako menjadi semakin langka di pasaran.
“Masyarakat mulai resah dan panik terhadap kelangkaan barang-barang kebutuhan… situasi panik makin menjadi dan masyarakat khususnya orang kaya mulai melakukan aksi borong sembako,” tulis Ester.
Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda mulai meningkat. Pada Januari 1998, aksi dilakukan berbagai kelompok mahasiswa di berbagai kota. Isu yang dibawa terkait ekonomi.
Aksi meningkat di Februari baik dari jumlah massa dan kota. Di Maret dan April aksi terus meluas, seiring dengan tuntutan yang dibawa.
“Tuntutan-tuntutan aksi yang diawali mengangkat isu sosial-ekonomi, seperti menolak kenaikan harga, kenaikan harga listrik, BBM dan lainnya telah berkembang kepada tuntutan yang lebih politis seperti tuntutan pergantian kabinet, sidang istimewa hingga tuntutan menurunkan Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden,” tulis Ester.
Di tengah situasi itu, Soeharto pada 9 Mei meninggalkan Indonesia untuk menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir. Ia sempat menyampaikan pernyataan kepada pers sebelum meninggalkan Tanah Air.
Saat itu, ia menyampaikan keyakinannya, rakyat Indonesia memiliki kesadaran pentingnya menjaga stabilitas nasional. Atas keyakinan itu, ia berani meninggalkan Indonesia.
Terhadap masalah politik, ia menyebutkan bahwa pemerintah juga telah bertekad untuk melaksanakan reformasi dan pembaruan dalam bidang politik.
Tetapi hal itu harus dilaksanakan secara konstitusional dan menyerahkannya kepada DPR sesuai fungsi kerja.
“Pemerintah dengan kabinet yang telah ia susun akan siap membantu DPR dalam melakukan reformasi. Ia menyatakan bahwa reformasi akan mulai dilaksanakan setelah Sidang Umum MPR 2003,” tulis Ester.
Beberapa hari setelah Soeharto pergi, terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Empat di antaranya meninggal dunia. Kerusuhan meletus di berbagai kota, khususnya Jakarta.
Sepanjang 13-15 Mei 1998 tercatat kerusuhan terjadi di 111 lokasi di Jakarta, Tangerang, Depok dan Bekasi.
Peristiwa kerusuhan secara umum dibagi dalam tiga bentuk tindakan yaitu perusakan, pembakaran dan penjarahan. Tidak pada semua tempat, tindakan perusakan selalu disertai penjarahan atau pembakaran.
Data lain yang dipaparkan dalam buku Politik Huru-Hara Mei 1998 karya Fadli Zon, mencatat lebih dari 80 aksi mahasiswa dilakukan sepanjang Februari hingga awal Mei 1998 di berbagai kota di Indonesia.
Soeharto yang saat itu ada di Kairo, mengetahui kabar adanya mahasiswa Trisakti meninggal dari putrinya Siti Hardijanti Hastuti Rukmana atau Tutut.
Fadli menyampaikan setelah kerusuhan di Jakarta, demonstrasi terus terjadi. Gedung DPR diduduki dan dikuasai mahasiswa.
Di level politik yang lebih tinggi, sejumlah Menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri dan dua fraksi penting di DPR, meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Soeharto akhirnya mundur tak lama setelah kepulangannya dari Mesir pada 15 Mei. Ia saat itu mempercepat waktu kepulangannya.
Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, ditemani Wakil Presiden B.J Habibie dan para ajudan, Soeharto membaca naskah pidato di Istana Merdeka, Jakarta.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis 21 Mei 1998,” kata Soeharto seperti dikisahkan James Luhulima dalam buku Hari-Hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan beberapa peristiwa terkait.
Di masa itu, James menyatakan kesuksesan ekonomi selama lebih dari 30 tahun menjadi semacam legitimasi bagi Soeharto untuk terus memerintah, berubah menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan.
“Ketidakmampuan mengatasi krisis ekonomi itu menjadikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah runtuh,” tulis James.
Sementara, Ester menyampaikan kerusuhan yang terjadi pada 13 hingga 15 Mei, khususnya di Jakarta, pada akhirnya memberikan dampak yang berarti terhadap sendi kehidupan sosial, ekonomi dan keamanan secara umum.
“Kerusakan yang begitu besar dan korban yang mengenaskan menjadi gambaran betapa getirnya peristiwa tersebut. Pada sisi lain, dampak dari kerusuhan tersebut ternyata memberikan celah bagi terjadinya proses perubahan politik (yang berkaitan dengan perubahan ekonomi dan sosial) di Indonesia,” tulis Ester.
Anjloknya rupiah belakangan ini mengingatkan pada sejarah 1998.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpendapat pelemahan rupiah beberapa waktu belakangan merupakan salah satu yang terdalam sejak 1998. Namun, kondisi saat ini berbeda dengan 1998, ketika krisis ekonomi terjadi dalam waktu cukup singkat.
“Tahun ’97-’98 kan memang terjadi pelemahan rupiah yang cukup tajam dalam waktu singkat. Bedanya kalau saat ini terjadi soft landing namanya, jadi begitu dia melemah, pelemahannya itu terus saja kontinyu, tapi tidak terjadi penurunan yang tajam seketika,” kata Bhima, Kamis (27/6).
Pelemahan rupiah saat ini, kata dia, bakal semakin menambah tekanan bagi masyarakat. Bhima mengatakan sebelum rupiah anjlok, biaya hidup sudah meningkat.
“Inflasi bahan makanan sudah 10 persen secara tahunan, lapangan pekerjaan semakin sulit dan imbas pelemahan rupiah, membuat biaya bahan baku naik, banyak perusahaan melakukan PHK, bahkan tutup permanen, itu sudah terlihat di industri padat karya,” ujarnya.
Bhima pun mengingatkan gejolak yang terjadi pada 1998 dipicu krisis ekonomi, yang membuat ketimpangan meningkat dan menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
“Ada beberapa indikator yang perlu diwaspadai karena kejadian tahun ’98 itu bermula di sektor keuangan, terutama pelemahan rupiah menjalar ke perbankan, dan pasar keuangan lainnya,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira, berpendapat melemahnya rupiah memang perlu mendapat perhatian.
Namun, ia mengingatkan konteks yang lebih luas. Faktor eksternal seperti kebijakan moneter di negara-negara maju, ketidakpastian ekonomi global, dan kondisi geopolitik turut berpengaruh.
“Dari perspektif HIPMI, situasi ini memang menantang, namun bukan berarti harus selalu dipandang sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan. Banyak pengusaha yang justru melihat ini sebagai kesempatan untuk meningkatkan daya saing ekspor dan menggali potensi pasar domestik,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi saat ini belum bisa disebut sebagai sebagai tanda krisis seperti pada 1998. Saat itu, lanjut dia, krisis disebabkan oleh berbagai faktor struktural dan spekulatif yang sangat berbeda dengan kondisi saat ini.
“Saat ini, fondasi ekonomi Indonesia relatif lebih kuat, dengan cadangan devisa yang cukup dan kebijakan fiskal yang lebih terjaga,” ujarnya.
Presiden ‘Beli’ Kesetiaan Rakyat
Sejarawan Andi Achdian berpendapat selain faktor ekonomi, krisis politik 1998 terakumulasi dari banyak hal. Mulai dari semakin tuanya Soeharto hingga kehilangan pengaruh di ABRI.
“Lingkarannya semakin mengecil, dia angkat orang-orang di sekitar untuk jadi menteri,” ujar Andi.
Jika pun saat ini terjadi krisis ekonomi, kondisinya berbeda dengan 1998.
Saat ini, kondisi politik masih tetap stabil. Para elite politik mempunyai kesepakatan bersama. Belum lagi, kebijakan pemerintah yang bisa membeli ‘kesetiaan’ masyarakat.
“Negara masih bisa, presiden masih bisa membeli kesetiaan rakyat melalui berbagai produk seperti BLT, bansos, itu yang enggak bisa dilakuin oleh Soeharto zaman itu, ketika dia mau melakukan itu, uangnya enggak ada,” katanya.
Sementara itu, Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Wildan Sena Utama mengatakan munculnya gejolak yang berujung jatuhnya Soeharto pada 1998, bukan karena faktor ekonomi satu-satunya.
Menurutnya, jatuhnya Soeharto merupakan kombinasi faktor dari otoritarianisme yang berkuasa terlalu lama dan sangat korup tanpa ada penegakan hukum yang menyeluruh.
Lalu, faktor krisis ekonomi regional Asia Tenggara yang berdampak parah di Indonesia.
“Jadi faktor ekonomi bukan satu-satunya, ada krisis politik akibat otoritarianisme Soeharto yang menggerakkan gerakan kolektif dari massa, mahasiswa dan aktivis turun ke jalan,” kata Wildan.
Belum lagi, gerakan mahasiswa tidak sekuat 1998, sehingga, kondisi saat ini berbeda dengan 1998.
“Ditambah kerja sama dan gerakan mahasiswa lintas organisasi tidak sekuat dalam konteks tahun 1990-an,” ujarnya. (CNN)