seputar-Jakarta | Peristiwa Tanjung Morawa adalah tragedi berdarah yang terjadi pada 16 Maret 1954 di Desa Perdamaian, Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Saat itu terjadi konflik agraria yakni sengketa tanah yang juga dibalut SARA.
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), tepatnya pada masa Kabinet Wilopo di era demokrasi liberal. Berikut sejarah peristiwa Tanjung Morawa.
Latar Belakang Peristiwa Tanjung Morawa
Peristiwa Tanjung Morawa dilatarbelakangi oleh rencana pemerintah membuat sawah percontohan bagi masyarakat di lahan bekas kebun tembakau.
Akan tetapi, lahan tembakau itu sudah lebih dulu diisi oleh sebagian masyarakat, penggarap liar, dan imigran gelap.
Di masa penjajahan, tanah perkebunan itu dimiliki perusahaan Belanda. Namun, pasca putusan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Indonesia diminta mengembalikan tanah tersebut ke investor asing.
Pemerintah pun berupaya memindahkan para warga dengan memberi sejumlah biaya ganti rugi. Akan tetapi, usaha itu terhalang oleh kelompok Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Puncak Peristiwa Tanjung Morawa
Negosiasi antara pemerintah dan warga berlangsung alot, tapi tak jua mendapati titik temu. Sampai akhirnya pemerintah menggusur warga secara paksa.
Pada 16 Maret 1953, pemerintah mengirim sejumlah traktor ke area perkebunan dengan dikawal polisi termasuk pasukan brimob.
Kelompok BTI menyiapkan massa di setiap titik Tanjung Morawa untuk melawan pemerintah. Bentrokan pun pecah antara aparat dan masyarakat. Sejumlah warga dan petani meninggal dunia. Sebagian lainnya luka-luka.
Pasca Peristiwa Tanjung Morawa
Kabinet Wilopo disebut menyalahi aturan persoalan sengketa tanah di Tanjung Morawa. Akibatnya, Kabinet Wilopo mulai tidak stabil.
Parlemen pun menyoroti kasus Tanjung Morawa ini. Pada 2 Juli 1953, Wilopo secara resmi menyerahkan mandat kekuasaannya pada Presiden Soekarno. Peristiwa Tanjung Morawa pun disebut sebagai penyebab jatuhnya Kabinet Wilopo. (cnnindonesia)