seputar-Jakarta | Sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat dia bisa terpeleset dan jatuh juga. Perumpamaan lawas itu sepertinya bisa untuk merujuk aksi dua WNI yang buron ke Singapura, Adelin Lis dan Hendra Subrata. Keduanya, menurut Duta Besar RI untuk Singapura, Suryo Pratomo ditangkap dan dideportasi karena melakukan “kesalahan kecil” terkait keimigrasian.
Alkisah, pasca-putusan MA yang menghukum 10 tahun penjara dan denda Rp110 miliar pada 2008 dalam perkara Illegal Logging, Adelin Lis buron ke Singapura. Selama buron, dia berganti nama menjadi Hendro Leonardi dan mendapatkan paspor baru dari imigrasi Jakarta Utara. Dengan identitas baru di paspornya itu Adelin bebas keluar masuk Singapura dan negara-negara lain.
Saat akan kembali masuk ke Singapura pada 2018 lalu, Hendro Leonardi tak mengakui punya nama lain, yakni Adelin Lis. Padahal di imigrasi Singapura, dua nama tersebut ternyata punya wajah dan data yang sama.
“Dikhawatirkan dapat membahayakan Singapura, dia pun ditahan imigrasi Singapura,” kata Suryo Pratomo dalam program Blak-blakan yang tayang, Jumat (9/7/2021).
Setelah berkoordinasi dengan otoritas di Indonesia dan menguji sidik jarinya, Hendro Leonardi alias Adelin Lis pun diadili karena melanggar UU Imigrasi Singapura. Setelah menjalani hukuman, dia dipulangkan ke Indonesia pada 19 Juni 2021.
“Jadi kepulangan Adelin Lis ke Indonesia bukan karena kemurahan hati Singapura tapi karena sang buronan melakukan pelanggaran keimigrasian,” kata Suryo Pratomo.
Lain lagi dengan Hendra Subrata yang divonis bersalah melakukan percobaan pembunuhan terhadap rekan bisnisnya Hermanto Wibowo pada 2008 di kawasan Palmerah, Jakarta Barat. Dia ditangkap justru saat mengurus perpanjangan paspor atas nama Endang Rifai di KBRI pada 17 Februari 2021.
Dia datang untuk memprotes karena prosesnya dianggap terlalu lama dibandingkan dengan istrinya. Dia menyebut nama istrinya Linawaty Widjaja. Tapi di database imigrasi KBRI, suami Linawaty adalah Hendra Subrata bukan Endang Rifai.
“Setelah di-crosscheck dan dikonfrontasi petugas, di situlah dia ketahuan. Setelah berkoordinasi dengan imigrasi Singapura, dia pun dipulangkan (pada 26 Juni 2021),” kata Suryo Pratomo yang pernah menjadi Pemred Kompas dan Direktur Pemberitaan Metro TV.
Dari dua kasus tersebut,dia melanjutkan, hal terpenting dalam upaya penegakan hukum jangan ribut atau gaduh, karena target justru akan bersembunyi. “Kalau mau tangkap tikus jangan ribut, nanti tikusnya keburu lari ke mana-mana. Kalau mau nangkap orangnya juga ya diam-diam aja biar tidak kabur dan sembunyi,” ujarnya. (detik)