seputar-Jakarta | Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah mengusulkan agar fraksi-fraksi di DPR RI dihapuskan.
Menurut Fahri, keberadaan fraksi-fraksi di parlemen selama ini membuat kamar legislatif tidak berdaya.
Fahri menilai, selama ini fraksi hanya menjadi alat kepentingan politik ketua umum partai atau elite-elite politik lainnya. Keberadaan fraksi justru tidak berpikir untuk rakyat atau konstituen
“Jadi berbicara reformasi politik, menghapus fraksi di DPR di antara yang paling penting kita lakukan, karena berbagai atau banyak alasan. Alasan pertama tadi kita melihat agak mencemaskan bagaimana sebuah kekuatan di kamar kekuasaan legislatif itu tidak nampak fungsinya” kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/1/2022).
Fahri menceritakan, saat menjadi Wakil Ketua DPR periode 2014-2019, ia diminta melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak masyarakat oleh partai sebelumnya. Ia pun menentang perintah partai, hingga akhirnya dipecat.
Fahri yang kini dikenal sebagai politikus Gelora sebelumnya adalah kader PKS, dan pernah menjadi Wakil Ketua DPR RI.
“Waktu itu saya melawan kendali partai, karena berpotensi mendistorsi kehendak rakyat menjadi kehendak parpol. Ini yang mesti kita lawan ke depan,” kata Fahri.
Menurut Fahri, dalam sistem demokrasi, anggota DPR harus menjadi wakil rakyat, bukan menjadi wakil partai politik. Mantan aktivis 1998 itu menilai kekeliruan tersebut lantaran kesalahan paradigmatik yang memandang peran partai politik dalam fraksi.
“Ketika kita sudah memilih sistem demokrasi, mau tidak mau maka kita harus memurnikan demokrasi itu, tidak saja sebagai nilai-nilai luhur, tetapi juga dalam sistem pemilu dan sistem perwakilan kita,” katanya.
Menurut dia, keberadaan fraksi ini pada akhirnya memunculkan sekelompok orang di balik layar yang terlihat menyetir parlemen. Akibatnya, hubungan antara eksekutif dengan legislatif menjadi tidak sehat dan bisa menginvasi yudikatif.
“Fraksi ini sebenarnya ada dalam tradisi totaliter seperti dalam tradisi negara komunis. Di tradisi demokrasi, perannya negara totaliter itu, ya partai politik adalah negara itu sendiri. Makanya hampir tidak ada jarak dengan partai politik dengan jabatan publik,” ujar Fahri.
“Artinya sehari-hari mereka lebih nampak sebagai wakil partai politik. Karena itu lah reformasi politik perlu dilakukan,” imbuhnya.
Mengutip dari laman DPR Ri, fraksi dibentuk untuk menyelaraskan kepentingan anggota dewan yang beragam. Setiap anggota dewan wajib menjadi anggota salah satu fraksi, di mana itu mencirikan kesatuan anggota DPR dari partai politik tertentu.
“Fraksi bertugas mengkoordinasikan kegiatan anggotanya demi mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi kerja Anggota Dewan. Fraksi juga bertanggungjawab untuk mengevaluasi kinerja anggotanya dan melaporkan hasil evaluasi tersebut kepada publik,” demikian dikutip dari laman DPR yang diakses, Jumat (14/1) malam.
Pada DPR Periode 2019-2024 ada 9 fraksi di lembaga legislatif itu yakni F-PDIP (128 anggota atau 22,26 persen), F-Golkar (85 anggota atau 14,78 persen), F-Gerindra (78 anggota atau 13,57 persen), F-NasDem (59 anggota atau 10,26 persen), dan F-PKB (58 anggota atau 10,09 persen).
Selanjutnya adalah F-Demokrat (54 anggota atau 9,39 persen), F-PKS (50 anggota atau 8,70 persen), F-PAN (44 anggota atau 7,65 persen), F-PPP (19 anggota atau 3,30 persen).
Selain mengusulkan menghapus fraksi di DPR, Fahri juga ingin agar MPR RI tidak dijadikan lembaga permanen. Sebab, selama ini, Fahri hanya melihat fungsi MPR hanya berjalan lima tahun sekali.
Ia mengatakan, selama ini MPR hanya muncul ketika melantik presiden dan wakil presiden atau ketika melakukan amandemen UUD 1945. Ia juga mengkritisi susunan pimpinan MPR yang saat ini terdiri dari semua partai politik di parlemen.
“Jadi buat apa itu, kayak sekarang MPR-nya. Apalagi Pimpinan MPR-nya semua partai politik ada, semua dapat rumah dinas dan mobil dinas. Untuk apa? Buat sosialisasi Empat Pilar? Itu tugasnya eksekutif, bukan MPR,” katanya.
Menurut Fahri, sosialisasi empat pilar merupakan peran dari eksekutif yakni pemerintah, sehingga MPR tidak perlu mengambil tugas tersebut. Oleh karena itu, Fahri menilai MPR pun perlu dilakukan reformasi sistem secara menyeluruh. (cnnindonesia)