seputar-JakartaI Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan beleid yang tercantum dalam PMK No 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN dan PPh terkait dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher.
Dikutip dari CNBC, Kemenkeu melalui DJP mengatur kegiatan pemungutan pajak yang masuk kategori PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dan PPh atau pajak penghasilan atas pulsa, kartu perdana, token, dan voucher secara terperinci sesuai mekanisme.
“Bahwa kegiatan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas pulsa, kartu perdana, token, dan voucher, perlu mendapat kepastian hukum.”
“Untuk menyederhanakan administrasi dan mekanisme pemungutan pajak pertambahan nilai atas penyerahan pulsa oleh penyelenggara distribusi pulsa,” tulis pertimbangan dikeluarkannya aturan ini dikutip CNBC Indonesia, Jumat (29/1/2021).
Lantas, berapa besaran pajak yang akan dipungut pemerintah?
Dalam beleid aturan tersebut, disebutkan bahwa pemungut PPh melakukan pemungutan pajak sebesar 0,5% dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua dan tingkat selanjutnya. Lalu dari harga jual atas penjualan kepada pelanggan telekomunikasi secara langsung.
Jika wajib pajak (WP) yang dipungut PPh Pasal 22 tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), besaran tarif yang dipungut akan lebih tinggi 100% dari tarif yang diberlakukan yaitu 0,5%.
Meski demikian, pemungutan PPh Pasal 22 tidak berlaku atas pembayaran oleh penyelenggara distribusi tingkat satu dan selanjutnya atau pelanggan telekomunikasi yang jumlahnya paling banyak Rp 2 juta tidak terkena PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp 2 juta.
Terlepas dari itu, pungutan pajak tidak berlaku kepada penyelenggara distribusi atau pelanggan yang merupakan wajib pajak bank, atau telah memiliki dan menyerahkan fotokopi surat keterangan PPh berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018 dan telah terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).(CNBC)