seputar-Jakarta | Aksi terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir kerap menyasar aparat kepolisian. Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Irjen Pol Martinus Hukom menyebut setidaknya ada dua alasan terkait hal itu.
Pertama, polisi adalah simbol hukum dan penjaga hukum. Mereka tidak mau mengakui nilai-nilai hukum karena dianggap bertentangan dengan syariat yang diyakini.
“Karena itu serangan yang dilakukan sejatinya bukan kepada polisi sebagai individu, tapi lebih kepada hukum itu sendiri,” kata Komandan Detasemen Khusus (Densus) 88 Irjen Pol Martinus Hukom dalam program Blak-blakan di detikcom, Senin (11/12/2021).
Alasan kedua, polisi mempunyai senjata yang menjadi target untuk mereka rampas. Senjata-senjata yang dirampas kemudian digunakan untuk mengintimidasi, menyerang, dan melakukan perlawanan terhadap aparat di lapangan.
Martinus menjelaskan hal itu terkait penangkapan terhadap tokoh Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Majalengka, Imam Mulyana, pada 18 September 2017. Kala itu dia membawa senjata tajam untuk menyerang dan merampas senjata petugas yang tengah berjaga di jalur yang akan dilalui rombongan Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya, di malam tahun baru 2017, dia dan beberapa temannya beraksi di Kota Bandung. Target utamanya adalah menyerang dan merampas senjata polisi.
“Mereka berupaya melumpuhkan polisi yang berjaga saat acara old dan new di alun-alun Kota Bandung. Namun, karena banyak masyarakat mereka kemudian memesan bom di bawah mobil TV One. Itu pun terlepas karena kurang profesional sehingga bom meledak tak sempurna,” jelas Martinus. (detik)