seputar-Medan | Aliansi 71 lembaga di Sumatera Utara dan nasional menyatakan sikap menolak pembangunan megaproyek Kota Deli Megapolitan di atas lahan seluas 8.077 hektare di wilayah Kabupaten Deli Serdang.
Pasalnya, tanah rakyat penunggu seluas 1.303 hektare yang telah dikuasai puluhan tahun dari bagian lahan untuk megaproyek yang disebut menelan biaya sekitar Rp128 triliun itu, terancam digusur oleh Ciputra Group dan PTPN II.
Pernyataan sikap penolakan ini disampaikan perwakilan dari 71 lembaga, di Balai Adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Kampung Terjun, Medan Marelan, Kota Medan, Senin (19/4/2021).
Ke-71 lembaga tersebut antara lain BPRPI, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Akumulasi Kemarahan Butuh dan Rakyat (AKBAR) Sumut, Walhi Sumut, LBH Medan, KONTRAS Medan, BITRA Indonesia, BAKUMSU, Yayasan PERMADANI, SIKAP, Serikat Petani Serdang Bedagai (SPSB), dan Persatuan Petani Siantar Simalungun (PPSS).
Kemudian, FORMAL Labuhan Batu, Serikat Rakyat Binjai Langkat (SERBILA), Serikat Rakyat Tani Deli Serdang (STI), Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS), Serikat Petani Majalengka (SPM), SeTam Cilacap, Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS), Pergerakan Petani Banten (P2B), Lidah Tani, SEKTI Jember, Forum Perjuangan Rakyat (FPR), Sendi Mojokerto dan Serikat Petani Minahasa (SPM) Tenggara, dll.
Ada enam poin pernyataan sikap yang disampaikan Ketua Umum BPRPI Alfi Syahrin bersama perwakilan seluruh aliansi atau lembaga yang hadir.
Pertama, menolak seluruh rencana pembangunan Proyek Deli Megapolitan di atas tanah-tanah dan wilayah adat Rakyat Penunggu dan Lokasi Prioritas Reforma Agraria BPRPI.
Kedua, mendesak Presiden RI segera memerintahkan Menteri BUMN dan Direktur PTPN II agar menghentikan rencana serta proses pembangunan Proyek Deli Megapolitan.
Ketiga, mendesak Menteri ATR/BPN, Gubernur Sumatera Utara dan Bupati Deli Serdang menghentikan proses perubahan dan peralihan klaim HGU PTPN II menjadi HGB atau pun ijin prinsip dan ijin lokasi untuk Ciputra Group.
Keempat, mendesak Presiden RI memerintahkan jajaran kepolisian dan tentara untuk menjaga keselamatan dan keamanan Rakyat Penunggu dari intimidasi dan teror dari berbagai pihak termasuk PTPN II akibat pembangunan proyek Deli Megapolitan, sekaligus melakukan investigasi dan penegakan hukum atas praktik-praktik mafia tanah, para spekulan tanah, praktik kolutif dan koruptif yang berkelindan dalam proyek ini.
Kelima, mendesak seluruh pihak yang terkait proyek Kota Deli Megapolitan untuk mengedepankan prinsip-prinsip kepentingan dan keterbukaan dengan rakyat dalam proses ini, sekaligus penghormatan dan perlindungan wilayah hidup Rakyat Penunggu.
Keenam, mendesak Presiden RI untuk memerintahkan Menteri ATR/BPN, Menteri BUMN, Menteri Keuangan untuk segera menjalankan Reforma Agraria dengan mengeluarkan tanah-tanah dan perkampungan Rakyat Penunggu dari klaim HGU PTPN II/aset BUMN dan mengakui hak konstitusional agraria Rakyat Penunggu, petani, dan masyarakat setempat lainnya.
“Peletakan batu pertama proyek ini telah dilakukan pada 9 Maret 2021 lalu oleh PT Ciputra KPSN (Ciputra Group) sebagai tanda dimulainya pembangunan komplek perumahan dan kawasan industri premium di Deli Serdang. Proyek Deli Megapolitan ini merupakan kerja sama PTPN II dan Ciputra Group yang akan dibangun di atas tanah seluas 8.077 hektare dan akan menelan biaya sekitar 128 triliun rupiah, maka kami menolak,” tegas Alfi Syahrin.
Tambah Alfi juga menjelaskan sebenarnya proyek raksasa ini digagas PTPN II sejak 2011, namun baru dapat dibangun pada 2021 bersama Ciputra Group.
Meski belum selesai, target tanah di bawah proyek ini sudah banyak dipromosikan dan diperjualbelikan di dunia maya, iklan harga tanah mencapai Rp1 miliar per 60 meter persegi.
Proyek ini ambisius dan megah, tetapi juga kontroversial, selain jual-beli lahan, ada puluhan ribu Rakyat Penunggu bahwa dulu Petani Rakyat Penunggu (PRP), petani dan masyarakat setempat lainnya yang mulai ketakutan tanah dan wilayah adatnya akan digusur dalam waktu dekat.
“Ketakutan beberapa kampung Rakyat Penunggu yang tergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), sangat masuk akal. Mengingat PTPN II juga pernah melakukan hal tersebut pada Rakyat Penunggu di Kampong Petumbukan dan Durian Selemak. Rakyat Penunggu di masa pandemi harus mengalami penggusuran oleh PTPN II yang dikawal oleh ratusan aparat TNI dan pihak keamanan perusahaan pada September 2020,” sebut Alfi.
Ia juga membeberkan ada beberapa hak guna usaha (HGU) perkebunan yang terbit tanpa persetujuan pemilik tanah yakni Rakyat Penunggu kini sedang diubah menjadi hak guna bangunan (HGB) demi mendukung proyek milik PTPN II dan Ciputra Group ini.
Jika Kementerian ATR/BPN menerbitkan HGB untuk Ciputra Group maka indikasi mafia tanah yang selama ini bercokol di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri menjadi terbukti, sebab dengan sengaja melestarikan praktik-praktik maladministrasi dan korupsi di lapangan.
“Ironis, sebab kampung-kampung Rakyat Penunggu yang akan terdampak proyek megapolitan ini termasuk wilayah Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang harusnya direalisasikan pengakuan haknya sesuai janji presiden, namun di saat yang sama PTPN II terus melaju dan melanjutkan Proyek Deli Megapolitan,” paparnya. (gosumut/gus)