seputar-Medan | Menurut laporan badan kesehatan dunia atau WHO tahun 2021, Indonesia merupakan negara ketiga dengan beban tuberkulosis (TBC/TB) tertinggi setelah India dan Tiongkok dengan estimasi kasus 824.000 selama tahun 2020. Sementara kasus yang ditemukan sebesar 393,323 dengan penanganan pengobatan hanya sebesar 48 persen.
Namun, sejauh ini, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Medan mengklaim belum menemukan penderita tuberkulosis (TBC) terinfeksi virus corona.
Kepala Seksi P3M Dinas Kesehatan Medan, Edy Yusuf mengatakan, belum ditemukannya penderita TBC yang tertular Covid-19 di wilayahnya karena minat masyarakat menurun untuk berobat ke rumah sakit.
“Kalau dari data kita enggak ada, belum ada ditemukan (penderita TBC terinfeksi Covid-19). Karena, memang di masa pandemi ini minat masyarakat memeriksakan diri ke rumah sakit menurun,” kata Edy Yusuf saat diwawancarai belum lama ini.
Menurutnya, menurunnya minat penderita TBC berobat ke rumah sakit karena stigma yang tinggi terkait penyakit Covid-19.
“Mereka (penderita TBC) sepertinya sudah mencari alternatif lain pengobatan penyakitnya,” ujarnya.
Edy mengatakan, selama pandemi ini kasus penderita TBC-RO (TBC Resistan Obat) yang ditemukan menurun.
“Seharusnya, estimasi TBC-RO di Kota Medan itu sekitar 500 kasus. Akan tetapi, pada tahun ini baru ada sekitar 86 kasus. Dari jumlah penderita TBC-RO tersebut, baru sekitar 70 persen lebih yang melakukan pengobatan. Kita melakukan investigasi untuk mengajak dan mengedukasi para pasien TBC-RO agar mau memulai lagi pengobatan terhadap penyakitnya. Akan tetapi, memang ada pasien yang tidak berobat lagi karena sudah pindah domisili hingga loss contact,” jelasnya.
Karena itu, sambung Edy, pihaknya menggandeng lembaga swasta hingga kader TBC bahkan kader PKK dilibatkan untuk mengajak pasien TBC-RO agar melanjutkan pengobatan. Pasalnya, ada beberapa kasus pasien TBC dengan kondisi telah membaik setelah berobat. Namun, ketika kondisinya membaik ternyata mereka berhenti mengonsumsi obat.
“Pasien TBC-RO itu, misalnya pasien dengan kasus TBC biasa tetapi setelah dua bulan konsumsi obat lalu berhenti karena sudah merasa sembuh. Namun, ketika berobat kembali ternyata masih belum sembuh dan bahkan butuh penanganan intens. Atau, memang pasien itu sudah tertular dari penderita TBC-RO lalu menularkan kepada orang lain,” terangnya.
Edy kembali menyampaikan, masa pengobatan penderita TBC-RO cukup lama, minimal 9 bulan hingga 2 tahun dengan diikuti injeksi. Artinya, memang pasien TBC-RO cukup menderita, sehingga perlu pendampingan dari organisasi swasta terkait dan pemerintah daerah.
“Untuk mengobati pasien TBC-RO sampai sembuh membutuhkan biaya pengobatan sekitar Rp200 jutaan. Oleh sebab itu, pemerintah mengambil peran dimana obat pasien TBC-RO masih disuplai dari Kementerian Kesehatan ke Dinas Kesehatan daerah dan selanjutnya didistribusikan kepada pasien,” katanya mengakhiri. (YN)