seputar – Jakarta | Krisis energi kini melanda banyak negara di dunia. Sejumlah negara tersebut mayoritas mengalami krisis listrik, akibat dari melonjaknya harga gas alam dunia dalam beberapa waktu terakhir.
Ini membuat pelaku pasar kembali khawatir. Karena hal ini akan berdampak pada inflasi global meninggi.
Lalu negara mana saja? Berikut rangkumannya:
Eropa
Dilansir dari Reuters, di Eropa, harga gas alam yang kembali melonjak membuat lebih banyak utilitas untuk beralih ke batu bara dengan kandungan karbon tinggi untuk menghasilkan listrik. Ini tepat ketika Eropa sedang giat-giatnya untuk mencoba menghentikan penggunaan bahan bakar yang berpolusi.
Meskipun harga batu bara dan karbon Eropa juga melonjak dalam beberapa bulan terakhir, namun keduanya telah memperlambat lonjakan harga gas. Ini menyebabkan biaya marjinal jangka pendek beralih ke penggunaan batu bara untuk menghasilkan listrik.
Harga karbon acuan yang diizinkan oleh European Union’s Emissions Trading System (ETS) naik hampir dua kali lipat sejak awal tahun ini. Sementara batu bara berjangka Eropa juga menguat lebih dari dua kali lipat.
Di lain sisi, pembangkit listrik berbahan bakar gas lebih murah untuk dioperasikan daripada pembangkit listrik berbahan batu bara karena biaya tambahan emisi karbon. Tetapi itu berubah sekitar Juli tahun ini.
Harga gas yang tinggi juga telah mendorong peralihan ke minyak di Inggris, di mana batu bara menyumbang hanya 2% dari campuran listrik, dengan negara itu menghadapi pasokan listrik yang ketat pada musim dingin tahun ini. Inggris sendiri kini menghadapi ancaman bangkrutnya industri akibat kurangnya energi.
Terbaru, krisis energi Eropa ini kini diyakini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jerman. Mengutip AFP, pada Kamis (14/10/2021) lima lembaga ekonomi terkemuka negara itu,DIW, Ifo, IfW, IWH, dan RWI, bahkan merevisi perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi Jerman.
Hal ini disebabkan oleh kemacetan pada rantai pasokan akibat krisis suplai gas. Permasalahan kini mulai dialami industri berat di negara itu, membuat produksi terhenti di beberapa lokasi yang membuat perakitan barang harus tertunda.
“Apakah itu kayu untuk palet, bahan pengepakkan, baja, yang merupakan input penting untuk industri kami, atau chip komputer, semikonduktor, dan lain-lain, bisnis sedang dihadapkan dengan kekurangan,” ujar Ralph Wiechers, kepala ekonom di kelompok industri teknik mesin VDMA.
Tak hanya industri berat, otomotif juga mulai mengalami gangguan. Jalur produksi Volkswagen, Opel dan Ford terhenti karena kemacetan bahan baku pembuatan mobil.
Sementara itu BMW dan Mercedes-Benz telah dilaporkan mengirimkan kendaraan dengan komponen yang kurang. Ini merupakan pukulan pada negara berbasis ekspor itu.
Krisis gas sendiri telah mengerek harga bahan bakar itu 14,3% di Eropa. Hal ini membuat Jerman mengalami inflasi tertinggi sejak 1993 dengan persentase sekitar 4,1%.
“Kemacetan pasokan, harga energi yang tinggi dan penghentian produksi di Jerman berpotensi menjadi campuran beracun,” menurut ekonom LBBW Jens-Oliver Niklasch.
India
Sementara itu di India, pemerintah setempat telah meminta kepada produsen listrik untuk mengimpor hingga 10% dari kebutuhan batu bara mereka. Hal ini dilakukan di tengah kekurangan bahan bakar di India.
Negara bagian juga sudah diperingatkan. Bahwa perusahaan akan membatasi pasokan listrik mereka jika mereka kedapatan menjual listrik di bursa listrik untuk menguangkan kembali di saat harganya melonjak.
India merupakan produsen batu bara terbesar kedua di dunia, dengan cadangan terbesar keempat di dunia. Tetapi, melonjaknya permintaan listrik yang telah melampaui tingkat pra-pandemi membuat pasokan batu bara India yang dikelola negara tidak lagi cukup untuk memenuhi permintaan tersebut.
Pada Selasa (12/10/2021) kemarin, Kementerian Tenaga Listrik India, dilaporkan Reuters, meminta perusahaan atau industri yang bergantung pada batu bara lokal untuk mengimpor hingga 10% dari kebutuhan batu bara. Ini untuk dicampur dengan kadar domestik untuk memenuhi peningkatan permintaan listrik.
Lebih dari setengah dari 135 pembangkit listrik tenaga batu bara India memasok sekitar 70% listrik di India. Namun saat ini memiliki stok bahan bakar yang akan bertahan kurang lebih tiga hari.
Jepang
Adapun di Jepang, harga listrik telah naik ke level tertingginya dalam sembilan bulan terakhir pada pekan ini karena terpengaruh dari naiknya harga global minyak, gas alam cair, dan batu bara.
Selasa, harga untuk pengiriman listrik jam sibuk di pasar spot mencapai 50 yen per kilowatt hour (kWh) atau US$ 0,44/kWh. Namun pada Senin (11/10/2021) lalu, harga listrik tersebut sempat menyentuh 50,01 yen/kWh, yang merupakan level tertinggi sejak Januari lalu.
Kenaikan harga listrik Jepang juga menghidupkan kembali sejarah musim dingin lalu, ketika harganya mencapai rekor tertinggi. Saat itu, jaringan listrik Jepang hampir gagal dalam krisis energi terburuk bagi negara itu sejak bencana Fukushima.
Seperti pada musim dingin tahun lalu, kenaikan biaya untuk LNG dan batu bara mendorong kenaikan harga listrik di Jepang. Dengan suhu yang lebih dingin hanya beberapa pekan lagi, perusahaan besar Jepang telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah krisis serupa.
“Persediaan LNG telah ditambah dan kini di atas 2,4 juta ton, sekitar 600.000 ton lebih tinggi dari rata-rata empat tahun untuk tahun ini,” kata Kementerian Industri Jepang, dikutip dari Reuters.
Tiongkok
Sementara itu di Tiongkok, krisis energi di Negeri Panda diprediksi bakal makin parah. Pasalnya bencana banjir menghantam pusat produksi batu bara utama di Tiongkok, Provinsi Shanxi.
Mengutip Biro Manajemen Darurat provinsi, hujan lebat memaksa penutupan 60 tambang batu bara di provinsi tersebut, di mana seperempat dari produksi ‘emas hitam’ dihasilkan. Sekitar 1.900 bangunan hancur dan 1,75 juta warga terkena dampak.
Hal ini membuat harga batu bara terma berjangka, terutama untuk menghasilkan listrik, melonjak ke level tertinggi sepanjang masa Senin (11/10/2021) lalu di pasar komoditas setempat Zhengzhou Commodity Excahnge. Harganya naik dua kali lipat sepanjang tahun ini, sebanyak 12% menjadi 1.408 yuan (US$ 219) per metrik ton.
Padahal batu bara adalah sumber energi utama di Tiongkok, baik untuk pemanas, pembangkit listrik maupun pembuat baja. Tahun lalu, batu bara mendominasi total penggunaan energi Tiongkok, hingga 60%.
Ini diyakini membuat listrik warga makin sulit di tengah musim dingin yang mulai melanda. Setidaknya krisis energi di Tiongkok sudah melebar ke 20 provinsi dalam beberapa pekan terakhir dan menyebabkan penjatahan listrik oleh pemerintah baik ke konsumen rumah tangga ataupun industri.
Amerika Serikat
Krisis energi global nyatanya sudah mulai dirasakan di Amerika Serikat (AS). Hal ini terlihat dari proyeksi penyedia energi pemanas negara itu yang menyebut akan ada kenaikan tarif pada musim dingin mendatang.
Dalam pernyataan Administrasi Informasi Energi AS (EIA), Rabu (13/10/2021), disebutkan bahwa kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar. Itu akibat permintaan yang melampaui suplai.
“Saat ini pertumbuhan permintaan energi umumnya melampaui pertumbuhan pasokan,” kata Pejabat Administrator EIA Steve Nalley dalam rilisnya sebagaimana diwartakan Reuters.
“Dinamika ini menaikkan harga energi di seluruh dunia.”
Hampir setengah dari rumah tangga AS bergantung pada gas alam untuk panas. Dengan biaya rata-rata untuk rumah tersebut diperkirakan akan naik 30% menjadi US$ 746 (Rp 10,6 juta) untuk periode Oktober-Maret dibanding bulan yang sama di tahun 2020, yang masih berada dalam kisaran US$ 573 (Rp 8,15 juta).
Sebelumnya hal yang sama juga disampaikan beberapa perusahaan utilitas. Mereka mencemaskan defisit bahan bakar benar-benar terjadi pada musim dingin ini dan memicu pemadaman.
“Utilitas khawatir aset yang mereka miliki tidak bisa mendapatkan bahan bakar yang cukup,” kata Chief Executive Officer XcoalEnergy & Resources LLCErnie Thrasher, dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg.
Untuk menutup defisit ini, beberapa penyedia layanan utilitas telah beralih ke batu bara. Diperkirakan Negeri Paman Sam akan mengalami kenaikan konsumsi bahan bakar dengan polutan tinggi itu hingga 23.%.
Ini cukup bertentangan dengan komitmen negara itu terhadap batu bara. Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menekankan janjinya dalam investasi sebesar US$ 2 miliar (Rp 28 triliun) untuk mendukung negara-negara berkembang agar beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Kami akan fokus pada percepatan kemajuan pada elektrifikasi dan baterai, hidrogen, penangkapan karbon, penggunaan dan penyimpanan, penerbangan dan pengiriman nol emisi, dan bagi negara-negara yang memilih untuk menggunakannya, tenaga nuklir,” ucap Biden dan pemimpin negara G7 lainnya dalam KTT Juni lalu.(CNBC)