seputar – Beijing | Pengadilan perceraian di Tiongkok memerintahkan seorang suami untuk membayar upah istrinya atas kerja rumah tangga yang telah dilakukan selama lima tahun pernikahan, merupakan putusan pertama setelah diperkenalkannya undang-undang pernikahan baru di Tiongkok.
Putusan ini memicu perdebatan panas seputar nilai bayaran untuk pekerjaan rumh yang tak dibayar – yang kebanyakan dilakukan perempuan, topik ini telah dilihat 400 juta kali di Weibo, Twitter versi Tiongkok, seperti dilansir, Kamis (25/2/2021).
Menurut catatan pengadilan, perempuan tersebut, yang memiliki nama keluarga Wang, bertemu suaminya bernama Chen, pada 2010. Mereka menikah pada 2015 tapi mulai pisah rumah pada 2018, dan putra mereka tinggal bersama Wang.
Pada 2020, Chen mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Distrik Fangshan di Beijing. Awalnya Wang tak setuju untuk bercerai, tapi kemudian meminta pembagian harta gono gini dan kompensasi keuangan karena Chen tak pernah ikut melakukan pekerjaan rumah atau merawat anaknya. Wang juga menuduh Chen selingkuh.
Pengadilan yang mengabulkan gugatan cerai itu memberikan hak asuh anak kepada Wang dan memerintahkan Chen harus membayar tunjangan kepada Wang sebesar 2.000 yuan per bulan atau sekitar Rp 4,3 juta dan memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada mantan istrinya sebesar 50.000 yuan atau sekitar Rp 108 juta karena kerja rumah tangganya selama lima tahun menikah.
Zhong Wen, seorang pengacara perceraian berbasis di Provinsi Sichuan mengatakan keputusan itu berdasarkan UU Pernikahan baru China yang mulai berlaku pada 1 Januari.
“Ada klausul yang mengatakan pihak yang lebih banyak bekerja membesarkan anak, merawat orang tua dan membantu pekerjaan pasangannya berhak meminta kompensasi selama perceraian,” jelasnya seperti ditulis South China Morning Post.
“Kedua pihak harus merundingkan langkah-langkahnya, dan jika negosiasi gagal, pengadilan harus memutuskan.”
Zhong mengatakan dia yakin keputusan itu bermanfaat untuk alasan sosial dan hukum karena mengakui nilai pekerjaan rumah tangga.
“Mereka yang melakukan pekerjaan rumah tangga direndahkan dalam pernikahan, dengan efek yang paling jelas adalah keterampilan bertahan hidup mereka di masyarakat dan keterampilan profesional mereka mungkin akan menurun,” jelasnya.
Namun menurutnya kompensasi yang diberikan dalam kasus ini terlalu kecil.
Zhong mengatakan, di Inggris, ketika pembagian harta gono gini dalam gugatan perceraian, pengadilan mempertimbangkan kontribusi dari kedua belah pihak kepada keluarga mereka, termasuk pekerjaan rumah tangga atau perawatan keluarga, dan itu lebih dari sekedar “kompensasi finansial” untuk satu pihak.
Kasus ini memicu perdebatan yang meluas di Tiongkok tentang peran ibu rumah tangga di samping meningkatnya gerakan feminis di negara itu.
Menurut survei yang dilakukan oleh United Nations Women, entitas PBB yang didedikasikan untuk kesetaraan gender, perempuan masih melakukan setidaknya dua setengah kali lebih banyak pekerjaan rumah tangga dan perawatan yang tidak dibayar daripada laki-laki.
“(Kasus) ini memperingatkan kami untuk tidak pernah menjadi ibu rumah tangga,” tulis seorang pengguna internet di Weibo.
“Anda akan tertinggal, tidak memiliki jalur profesional, dan pekerjaan Anda dianggap tidak berarti karena tidak memiliki nilai uang. Dan yang terburuk, Anda hanya akan bergantung pada suami Anda.”(merdeka)