seputar – Medan | Praktisi hukum dan pemerhati kebijakan publik, Eka Putra Zakran SH MH atau akrab disapa Epza, memberikan tanggapan atas diperiksanya 7 personel Satnarkoba Polrestabes Medan oleh Bid Propam Polda Sumut akibat menghilangkan barang bukti narkoba dan uang.
“Saya mengapresiasi kinerja Bidang Propam Polda Sumut yang telah memeriksa kasus penyelewengan tersebut. Harapan kita, jika para pelaku dinyatakan bersalah, sanksi yang diberikan jangan hanya sebatas mutasi, tapi tindakan tegas berupa pemecatan dan sanksi hukum pidana. Sehingga ke depan tisak ada personel polisi yang bermain-main dalam disiplin dan tugas,” tegas praktisi muda tersebut.
Dikatakannya, Indonesia adalah negara hukum. “Sebab itulah hukum harus menjadi panglima. Jadi azas hukum equality before the law yaitu persamaan kedudukan setiap orang di depan hukum wajib kita junjung tinggi. Artinya, orang-orang yang bersalah sangat pantas mendapat sanksi hukum yang sama tanpa membedakan status sosial dan lain sebagainya,” katanya.
Menurut dia, tindakan mutasi tidaklah cukup. Sejatinya para personel yang telah berani menghilangkan barang bukti narkoba dan uang tersebut diberi sanksi tegas, sehingga menjadi efek jera dan shock teraphy buat yang lain.
“Analisis saya, perbuatan personel yang menghilangkan barang bukti tersebut, bukanlah suatu bentuk kelalaian, tapi masuk pada kejahatan, yaitu adanya unsur permufakatan jahat yang direncanakan dan ini jelas kejahatan, bukan pelanggaran. Di samping itu juga perbuatan ini masuk kategori penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),” ujar EPZA.
Pentolan Korps Alumni Universitas Muhammmadiyah (KAUM) itu mengatakan, konsep layanan publik adalah good goverment, yaitu pemerintahan yang bagus dan bersih. “Nah, kosep ini jangan sebatas lip service semata, tapi benar-benar wajib diterapkan pada setiap lini pelayanan pemerintahan, ternasuk institusi Polri,” pintanya.
“Belum lagi kalau kita bicara tentang barbut narkobanya. Peredaran narkoba ini kan masuk kategori kejahatan besar (extraordinary crime) dan merupakan musuh negara. Makanya jika ada aparat menghilangkan barbut narkoba secara berjamaah, maka disitu terpenuhi unsur permufakatan jahatnya,” tambahnya.
Menurut EPZA, apa yang dilakukan oleh 7 personel Satnarkoba Polrestabes Medan tersebut bukan hanya sekadar melanggar disiplin dan etik profesi, tapi juga merupakan kinerja yang buruk dan ini menampar wajah Polri secara institusi.
“Hemat saya sebagai pimpinan Kapolrestabes juga harus bertanggung jawab. Pemimpin itu harus mampu membina mental anggota atau bawahannya. Jika tidak mampu membina dengan baik dan benar, maka sama saja gagal dalam memimpin Polrestabes Medan. Apalagi tugas dan fungsi kepolisian menurut UU No. 2 Tahun 2002 adalah memberi pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat. Nah, kalau mental aparatnya rusak bagaimana mungkin dapat memberi pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat,” tegasnya lagi.
Dipaparkannya, dalam hukum ada 3 instrumen yang saling memengaruhi, di antaranya: Substansi (Substance) yaitu regulasi atau UU, Struktur (Structure) yaitu aparatur hukum: Kepolisian, Kejaksaan, Hakim dan Advokat. Ketiga, Kultur (Culture/budaya) yaitu budaya hukum masyarakat atau dengan kata lain menyangkut ketaatan atau kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
“Nah, kalau bicara penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan seperti yang telah dilakukan oleh 7 personel Polrestabes Medan dalam menghilangkan barbut narkoba dan uang tersebut, maka jelas dan nyata merupakan kesalahan pada struktur hukum, yaitu aparatur hukum dalam hal ini personel kepolisian,” tandasnya.
Selain itu, kata EPZA, dalam kasus ini pimpinan Polri harus berani “mengamputasi” agar tidak menjalar ke personel lainnya, maka ke-7 orang yang diduga terlibat tersebut bukan hanya dimutasi, tapi harus dipecat dan dibawa ke ranah hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.(AFS)