seputar-Jakarta | Film-film asal Tiongkok, Hong Kong, dan Taiwan telah meramaikan perfilman Asia bahkan global selama ini. Tiongkok kini telah menyalip pendapatan tahunan Amerika Utara pada Oktober 2020, sementara Hong Kong juga dahulu dikenal sebagai negara yang sangat banyak mengekspor film.
Situasi politik, latar belakang sejarah, serta campur tangan pemerintah membedakan warna atau tampilan film ketiga kawasan tersebut.
Berikut gambaran besar hal-hal yang membedakan film dari Tiongkok, Hong Kong, serta Taiwan.
TIONGKOK
Satu hal mencolok dalam industri perfilman Tiongkok adalah besarnya pengaruh pemerintah secara langsung di dalamnya, mulai dari sistem sensor dan lisensi. Nasib film-film lokal, terlebih lagi film asing ada di tangan pemerintah.
Sejak zaman dinasti Ming, hiburan di Tiongkok harus tetap mengusung unsur-unsur patriotisme. Terlebih lagi ketika Partai Komunis Tiongkok berkuasa, nilai-nilai komunis itu harus tetap ditanamkan kepada publik.
Hal tersebut bertujuan untuk mempromosikan moralitas konfusianisme, stabilitas politik, dan harmonisasi sosial.
Sehingga, di awal perkembangannya, begitu banyak film-film berlatar sejarah serta propaganda dirilis di Tiongkok. Hingga pada 1970-an, istilah main melody film populer di sana.
Istilah itu digunakan untuk mendeskripsikan film yang selaras dengan tujuan Partai Komunis Tiongkok. Singkatnya, film-film itu harus mencontohkan semangat nasional Tiongkok dan menyatukan rakyat dalam memuji capaian sejarah partai, tentara, dan revolusi Tiongkok.
Beberapa di antaranya adalah Kunlun Column (1988) dan trilogi Decisive Engagement.
Perfilman Tiongkok mulai membuka pintu untuk komersial setelah kesuksesan Founding of a Republic (2009) yang ‘dipesan’ untuk memperingati hari jadi ke-60 Republik Rakyat Tiongkok.
Sekitar 177 bintang dan sutradara terkemuka, seperti Vicki Zhao, Vivian Wu, Donnie Yen terlibat di dalamnya. Film itu menuai cuan hingga 400 juta yuan.
“Partai Komunis telah berhasil memperkuat persaingan dalam industri film Tiongkok di pasar domestik sambil tetap mempertahankan cengkeraman kuat pada budaya umumnya dan secara khusus industri film,” tulis Y. Yang.
Hal itu tertulis dalam New Cinemas: Journal Of Contemporary Film yang diterbitkan pada 2016.
Tiongkok juga mencetak rekor lewat Wolf Warrior 2 (2017). Film yang turut diproduksi China Film Group itu menjadi yang terlaris di Tiongkok sepanjang masa. Film yang dibuat dengan bujet 200 juta yuan itu mendapatkan 5,68 miliar yuan dari box office lokal.
Film-film fantasi yang mungkin dahulu akan sulit lolos sensor sudah meramaikan layar lebar Tiongkok setidaknya dalam satu dekade terakhir. Film-film tersebut biasanya menjadi hasil kolaborasi bersama Hong Kong.
Beberapa film di antaranya adalah The Mermaid (2016), waralaba Monster Hunt (2015), dan Journey to the West: The Demons Strike Back (2017). Film-film itu bahkan masuk 20 besar film lokal terlaris sepanjang masa di China.
Di sisi lain, pemerintah tetap memastikan film-film patriotisme dan propaganda masih menjadi pemain utama di Tiongkok. Sejumlah film propaganda dipersiapkan untuk merayakan hari-hari bersejarah mereka.
Salah satu yang terbaru adalah film 1921 yang dibuat untuk merayakan 100 tahun hari jadi Partai Komunis Tiongkok dan tayang pada Juli 2021.
Baru-baru ini, film patriotisme bertajuk The Battle at Lake Changjin mengumpulkan 1,8 miliar yuan dalam lima hari penayangan. Seperti dilansir Sixth Tone pada Senin (4/10), capaian itu menyalip penghasilan film perang Wolf Warrior 2 untuk periode yang sama pada 2017.
HONG KONG
Di dunia perfilman Asia, Hong Kong telah mengembangkan reputasinya dengan baik. Salah satu kawasan terpadat di dunia ini pernah memproduksi 300 film dalam satu tahun, dan mengekspor banyak film ke negara lain di dunia.
Hong Kong juga melahirkan banyak superstar seni bela diri global seperti Bruce Lee, Jackie Chan, Jet Li, Andy Lau Michelle Yeoh, Donnie Yen, Tony Leung, Chow Yun-fat, Stephen Chow, dan masih banyak lagi.
Beberapa film Hong Kong juga diadaptasi ulang, seperti Internal Affairs yang dibuat ulang menjadi The Departed oleh Martin Scorsese.
Hong Kong dikenal dengan segudang judul film-film polisi dan triadnya selama ini, seperti Infernal Affairs, A Better Tomorrow, God of Gamblers, Once a Thief, dan masih banyak lagi.
Seperti dilansir laman Avenue of Stars, film kungfu komedi Bruce Lee menjadi pusat perhatian masyarakat pada 1970-an. Genre tersebut kemudian menjadi terkenal dan memiliki basis penggemar.
Hal itu sejalan dengan tahun-tahun ledakan ekonomi di Hong Kong yang menumbuhkan pandangan dan kepercayaan diri di masyarakat. Pesan itu disampaikan lewat film-film berakhir bahagia dan penuh harapan di masa-masa sulit.
Perfilman Hong Kong berada di masa emas pada 1980-an dan 1990-an dan bahkan merebut perhatian khusus di negara-negara Asia tenggara serta Amerika.
Namun, itu tak berjalan lama. Ketidakpastian dan ketegangan politik sebelum reunifikasi 1997 dengan Tiongkok membuat industri film di Hong Kong mengalami penurunan.
Situasi tersebut membuat pembuat film mencoba menangkap sentimen masyarakat lewat karya mereka, seperti Tsui Hark yang menggambarkan usaha generasi muda mencari perlindungan dan pelampiasan dari kebingungan identitas baru Hong Kong sebagai bagian dari Tiongkok.
Begitu pula dengan Wong Kar-wai yang sebagian besar film utamanya mengenai kebuntuan emosional sebagai representasi kegelisahan masyarakat saat Inggris menyerahkan kontrol kepada Tiongkok pada 1997.
TAIWAN
Awalnya, Taiwan juga memulai industri perfilman dengan materi-materi propaganda. Beberapa film dilahirkan ketika berada di bawah kepemimpinan Jepang.
Salah satunya adalah An Introduction to the Actual Condition of Taiwan karya yang menjadi film bisu pertama Taiwan. Film itu diarahkan sutradara asal Jepang Takamatsu pada 1907.
Dalam An Introduction to the Actual Condition of Taiwan yang terbit di jurnal Historical Dictionary of Taiwan Cinema pada 2013, Daw Ming Lee mengatakan film itu awalnya lebih dikhususkan bagi orang Jepang, bukan Taiwan.
Namun, hal itu kemudian menjadi pelajaran bagi Taiwan. Para pembuat film di sana mulai mengadaptasi gaya film-film Jepang, seperti benshi atau menggunakan narator untuk film bisu.
Genre-genre baru mulai diperkenalkan setelah Perang Saudara Tiongkok berakhir (1949). Central Motion Picture Corporation (CMPC) memperkenalkan genre melodrama yang bertujuan membangun nilai-nilai moral tradisional yang dinilai penting saat bangsa bertransformasi.
Di saat yang sama, film-film kungfu tradisional serta melodrama romantis juga populer.
Pada 1980-an, bioskop Taiwan mengalami kesulitan karena berkompetisi dengan film-film Hong Kong serta kemunculan home videos yang membuat banyak masyarakat lebih memilih menyaksikan film di rumah daripada di bioskop.
Kondisi tersebut membuat Central Motion Picture Corporation membuat proyek baru untuk ‘menyelamatkan’ industri perfilman. Proyek tersebut dikenal sebagai New Wave atau New Taiwanese Cinema.
Film-film melodrama dan kungfu tradisional seolah lekang oleh waktu. New Taiwanese Cinema menjadi era film-film yang lebih realistis, mudah terhubung dengan penonton, serta penuh simpati terhadap kehidupan masyarakat.
Salah satu sutradara yang menonjol adalah Hou Hsiao-hsien. Ia berani mengangkat isu-isu sensitif cenderung tabu lewat karyanya. Seolah cerminan dari kondisi sosio-politik keduanya, hal itu pula yang menjadi satu hal mencolok membedakan perfilman Taiwan dengan Tiongkok.
Pada 1989, ia merilis A City of Sadness yang mengisahkan insiden 28 February 1947 ketika pihak berwenang Taiwan menangkap dan membunuh ribuan pembangkang yang riil, serta yang masih dicurigai.
A City of Sadness menjadi film berbahasa Tiongkok pertama yang memenangkan Golden Lion di Film Festival Venice.
Para sineas juga mulai fokus pada pengambilan gambar lingkungan perkotaan yang diduga hasil dari pengaruh pencabutan pembatasan perdagangan dan investasi asing pada 1980-an.
Seperti dilansir Film Inquiry, para sutradara dinilai mencoba bergulat dengan efek urbanisasi. Sehingga, begitu banyak film Taiwan menyajikan suasana sekitar tokoh, seperti bangunan perkantoran, apartemen, atau jalanan kepada penonton.
Tak hanya itu, sineas Taiwan juga lebih berani dalam mengeksplorasi hal-hal yang berpotensi dipermasalahkan lembaga sensor Tiongkok, contohnya adalah Lust Caution yang digarap Ang Lee. Agar bisa tayang di Tiongkok, sang sutradara kemudian memotong tujuh menit adegan seks dalam film tersebut. (cnnindonesia)