seputar – Jakarta | Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyatakan rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen. Angkanya jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR) yang sebesar 92-176 persen dan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 90-150 persen.
BPK cemas hal ini membuat pemerintah kesulitan membayar utang negara. Masalahnya, tren penambahan utang dan biaya bunga sudah melebihi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
“Ini memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar,” tulis BPK dalam ringkasan eksekutif LHP LKPP 2020 dikutip, Rabu (23/6).
Lantas, bagaimana sebenarnya komposisi utang pemerintah saat ini?
Mengutip APBN KiTa, posisi utang pemerintah hingga April 2021 sudah tembus Rp6.527,29 triliun. Rasio utang tercatat sudah mencapai 41,18 persen terhadap PDB.
Jika dirinci, mayoritas utang berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) yang mencapai 86,74 persen atau Rp5.661,54 triliun. SBN berdenominasi rupiah sebesar Rp4.392,96 triliun dan dalam bentuk valas sebesar Rp1.268,58 triliun.
Lalu, utang juga berasal dari pinjaman. Porsinya sebesar 13,26 persen atau Rp865,74 triliun.
Lebih detail, pinjaman yang berasal dari dalam negeri sebesar Rp12,32 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp853,42 triliun. Pinjaman luar negeri ini dilakukan dalam berbagai skema.
Pertama, pinjaman secara bilateral sebesar Rp328,59 triliun. Kedua, pinjaman multilateral sebesar Rp480 triliun.
Ketiga, pinjaman bank komersial sebesar Rp44,02 triliun. Secara keseluruhan, Kementerian Keuangan menyatakan utang per April 2021 meningkat dari periode sebelumnya.
Hal ini karena kondisi ekonomi Indonesia yang masih dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi selama masa pandemi covid-19. Wabah ini telah melumpuhkan hampir seluruh sektor utama perekonomian.
“Perlambatan ekonomi akibat Covid-19 membuat penerimaan negara tertekan, namun di sisi lain kebutuhan belanja meningkat drastis untuk penanganan dampak pandemi,” tulis pemerintah dalam APBN KiTa.
Meski begitu, pemerintah tetap berupaya agar penerbitan utang dilakukan dengan biaya dan risiko yang paling efisien. Salah satunya dengan diversifikasi portofolio, baik instrumen, tenor, suku bunga, dan mata uang.
“Namun dengan tetap mengutamakan pembiayaan dari dalam negeri dan menggunakan sumber pembiayaan luar negeri sebagai pelengkap serta untuk meminimalisir crowding out di pasar domestik,” jelas pemerintah.(cnn indonesia)