seputar – Jakarta | Jutaan buruh jadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) imbas pandemi COVID-19. Adapun industri yang paling banyak melakukan PHK selama pandemi adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Lantaran, industri ini pula yang paling banyak menyerap tenaga kerja hingga 3,96 juta.
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Direktur Industri, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian PPN/Bappenas Leonardo AA Teguh Sambodo, di industri tersebut, sektor industri pakaian mengalami pengurangan tenaga kerja terbesar selama pandemi.
Selama pandemi COVID-19, sektor ini mengalami pengurangan tenaga kerja hingga 351,38 ribu orang atau 13,11% dari total tenaga kerja sebelumnya. Industri tekstil juga mengalami penurunan sebesar 183,30 ribu orang atau 14,4%, sehingga totalnya 534 ribu buruh TPT kena PHK.
“Jadi memang melihat kekuatan dari sektor industri TPT ini cukup tinggi, pada saat yang sama juga kami melihat ada dampak yang diperoleh dari pandemi COVID-19,” ujar Leonardo dalam diskusi virtual, dilansir dari laman detikfinance, Jumat (23/4/2021).
Selain TPT, industri lainnya juga mengalami pengurangan tenaga kerja selama pandemi. Ada industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki mengalami pengurangan tenaga kerja terbanyak kedua setelah industri pakaian jadi yaitu hingga sebanyak 212.009 orang, disusul industri barang galian bukan logam sebanyak 203.867 orang, industri kayu, barang dari kayu dan gabus sebanyak 110.509 orang.
Selanjutnya, industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya mengurangi tenaga kerja hingga sebanyak 93.020 orang, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia sebanyak 71.069 orang, industri furnitur sebanyak 65.498 orang, industri pencetakan dan reproduksi media rekaman sebanyak 60.999, dan industri alat angkutan lainnya sebanyak 47.737.
Total pengurangan tenaga kerja yang terjadi di sektor ekonomi selama pandemi ini mencapai 1.715.066 orang atau 8,93% dari total sebelum pandemi.
Namun, di sisi lain, bukan hanya masalah tenaga kerja, ada juga hal lain yang menurut Leonardo perlu dibenahi yaitu masalah produktivitas. Produktivitas industri ini terbilang cukup rendah dibanding industri padat karya lainnya.
Produktivitas industri ini masih sebesar 0,19%, sedangkan industri padat karya lain sudah di atas itu yakni industri makanan dan minuman mencapai 0,31%, industri pengolahan tembakau dan barang dari plastik mencapai 0,30%, dan industri furnitur sebesar 0,21%.
“Selama pandemi ini memang tidak sideback, tapi kita melihat ke belakang bahwa bagian dari bagaimana kemudian kita memperbaiki kinerjanya ke depan adalah menyelesaikan masalah-masalah struktural termasuk di dalamnya soal produktivitas yang rendah dibanding industri padat karya yang lain,” katanya.
Akan tetapi, di saat yang sama tingkat upah di industri tekstil terus meningkat tiap tahunnya. “Ini mungkin satu bagian yang perlu diselesaikan di luar bagaimana kita berbicara mengenai perlindungan dari pasar,” imbuhnya.(detikfinance)