seputar-Jakarta | Sepekan terakhir publik ramai memberitakan soal impor pipa yang ‘membanjiri’ Indonesia. Hal ini pulalah yang memicu Presiden Joko Widodo ‘murka’ dan berujung pada pemecatan pejabat tinggi BUMN migas terbesar di Indonesia, PT Pertamina (Persero).
Kekesalan Jokowi itu lantaran impor pipa masih banyak, padahal barang tersebut bisa diproduksi di dalam negeri.
Pemecatan pejabat tinggi Pertamina disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pemecatan ini disebabkan kegagalan pejabat tinggi Pertamina dalam meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
“Ada pejabat tinggi Pertamina itu kemarin dipecat presiden langsung,” kata Luhut dalam rakornas BPPT 2021, Selasa (9/3/2021).
Luhut mengungkapkan bahwa Jokowi kesal pejabat tersebut tidak bisa mengikuti regulasi penggunaan tingkat TKDN pada proyek yang terutama terkait pipa Pertamina.
“Bikin pipa. Pertamina itu ngawurnya minta ampun. Masih impor pipa padahal bisa dibuat di Indonesia. Bagaimana itu?” tanya Luhut.
Menanggapi hal ini Bobby Gafur Umar, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi dan Migas angkat bicara. Menurutnya dalam kasus pipa ini impor dari Tiongkok masih lebih murah daripada produksi dalam negeri.
“Sampai Pak Luhut bilang ada pejabat Pertamina diganti karena Pak Presiden nggak berkenan. Pertamina masih ada yang belum bisa memaksimalkan pemakaian produk dalam negeri,” paparnya dalam webinar ‘Membedah Peluang Bisnis 70 Triliun Di Sektor Hulu Migas’, Rabu (10/03/2021).
Lebih lanjut dia mengatakan, pipa dari Tiongkok sampai di Surabaya harganya tidak beda jauh dengan bahan baku dari BUMN PT Krakatau Steel Tbk (KRAS).
Dari bahan baku Krakatau Steel, begitu dilakukan pengelasan, maka ongkosnya bertambah 20-25 persen, sehingga pipa di Indonesia jauh lebih mahal.
“Harga pipa Tiongkok sampai di Surabaya, pipa jadi sama bahan baku Krakatau Steel. Itu nggak beda jauh harganya, begitu las jadi pipa sudah nambah 20-25 persen ongkos pipa,” jelasnya.
Kenapa pipa Tiongkok bisa jadi lebih murah?
Lebih lanjut Bobby menjelaskan, ‘miringnya’ harga pipa impor karena negara Tiongkok memberikan kredit ekspor yang sangat murah. Jika perusahaan di Tiongkok hanya ekspor bahan baku, mereka akan kena pajak yang begitu tinggi.
“Begitu ekspor produk jadi, dapat tax incentives. Di Indonesia malah belum apa-apa kena pajak,” jelas mantan Dirut PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) ini.
Dia menyebut Pertamina punya proyek kilang yang nilainya cukup besar. Sampai dengan 2027 nilainya mencapai sebesar US$50-65 miliar atau sekitar Rp800 triliun.
Jika 30 persen dari nilai Rp800 triliun ini menggunakan industri dalam negeri, maka manfaat yang bisa dirasakan industri dalam negeri bisa mencapai Rp250 triliun. Nilai ini menurutnya cukup besar, sehingga pemerintah terus mendorong penggunaan produk lokal.
“Sampai 2027 nilainya US$50-65 miliar, jadi nilainya sampai Rp800 triliun. Kalau 30 persen industri dalam negeri ambil, nilainya bisa Rp250 triliun,” ungkapnya.
Soal Pipa Impor, Ternyata Impornya Segini
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia ternyata masih doyan impor pipa untuk keperluan migas. Selama tahun 2020 saja nilainya mencapai lebih dari setengah triliunan rupiah.
Catatan impor pipa gas Indonesia sepanjang Januari-Desember tahun 2020 lalu, setidaknya ada 8 jenis pipa gas, total nilai impornya mencapai Rp564,2 miliar dengan total volume 13.946 ton.
Pipa dengan kode HS 73061990 menyumbang Rp359,66 miliar dengan jumlah impor sebesar 5.780 ton. Dan kedua dari pipa dengan kode HS 73061190 dengan nilai Rp77,42 miliar dengan total 1.487 ton.
Sementara posisi ketiga ada HS 73061110 dengan volume 3.938 ton dengan nilai Rp56 miliar disusul HS 73062900 dengan volume 1.023 ton dan nilai Rp35,42 miliar.
Selanjutnya ada HS 73061910 dengan volume 1.639 ton dan nilai Rp28,56 miliar. Sedangkan sisa 3 HS lain nilaunya berada di bawah Rp10 miliar.
Besarnya impor pipa gas membuat Jokowi murka dengan memecat pejabat tinggi Pertamina, sebagaimana disampaikan Luhut.
Di sisi lain, soal prosedur dalam pengadaan barang dan jasa seperti pipa migas juga menjadi persoalan.
Pihak PT Surveyor Indonesia, sebagai perusahaan surveyor BUMN mengungkapkan bahwa masalah itu terkait mengabaikan pengadaan barang dan jasa, yang wajib memenuhi batas minimum TKDN.
“Bagaimana TKDN diawali, pertama setelah buat capex dan opex dengan komitmen TKDN dalam perencanaan, sudah harus dipikirin kira-kira yang diundang dalam pengadaan pipa siapa saja dan berapa nilai TKDN yang mereka dapat,” kata Project Manager TKDN Industri PT Surveyor Indonesia Sarjuni Adicahya dalam Sosialisasi Sertifikasi TKDN Kemenperin, Jumat (12/3/21).
Nama-nama pemasok yang akan mengikuti proses pengadaan harus ada sebelum pelaksanaan seleksi peserta lelang. Nama tersebut akan menjadi acuan, ketika ada perusahaan di dalam negeri yang menggunakan bahan baku sampai 40 persen memenuhi komponen produk dalam negeri maka bisa mengikuti tender.
“Maka dalam proses mengikuti tendernya, hanya mengundang industri dalam negeri yang ada di buku inventarisasi barang dan jasa produksi dalam negeri dengan cara mereka melampirkan sertifikat TKDN,” sebutnya.
Setelah itu maka akan ada pemilihan terhadap pipa tersebut melalui harga evaluasi akhir, yakni mengurutkan ranking harganya dari tiap penyedia. Dari sini akan terlihat pihak penyedia yang memberikan harga paling murah. Harga yang paling kecil bisa memenangkan proses pengadaan.
“Setelah menang, dengan adanya TKDN di sini, maka dia akan lakukan suatu prosedur kontrak. Setelah kontrak, mereka akan melaksanakan proyek, (namun) ternyata mereka lakukan suatu impor produk, itu dicek lagi. Kalau dulu TKDN 40 persen maka yang boleh impor TKDN minimal 60 persen, akan saya cek. Nama konsepnya master list, (jika melanggar) dijegal di situ. Kalau mereka masih impor juga, bandel ya kaya kasus kemarin direksinya dicopot,” kata Sarjuni.(cnbcindonesia)