seputar – Jakarta | Bukti bahwa pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di Indonesia semakin ‘menggila’ sudah terang benderang. Kemarin, tambahan pasien baru mencatat rekor.
Pada Kamis (17/6/2021), Kementerian Kesehatan melaporkan total pasien positif corona di Tanah Air mencapai 1.950.276 orang. Bertambah 12.624 orang dari hari sebelumnya, kenaikan harian tertinggi sejak 30 Januari 2021.
Perkembangan ini membuat rata-rata tambahan pasien positif dalam 14 hari terakhir menjadi 8.082 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 5.588 orang setiap harinya.
Dalam dua minggu terakhir, kasus positif rata-rata bertambah 2.204 orang per hari. Meroket dibandingkan rerata dua pekan sebelumnya yakni 425 orang saban harinya.
Seperti influenza, virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok ini mudah menyebar ketika terjadi peningkatan intensitas kontak dan interaksi antar-manusia. Ini yang sekarang sedang terjadi.
Mengutip Covid-19 Community Mobility Report keluaran Google, terlihat bahwa kunjungan warga +62 ke berbagai lokasi di luar rumah meningkat. Paling mencolok terjadi di lokasi perbelanjaan ritel dan tempat rekreasi.
Dalam dua pekan terakhir, tingkat kunjungan masyarakat ke lokasi itu rata-rata 1,43% di atas normal, sudah melebihi hari-hari sebelum pandemi. Jauh lebih tinggi ketimbang rerata dua minggu sebelumnya yaitu -2,14%, di bawah hari-hari biasa.
Ini otomatis membuat aktivitas #dirumahaja menurun. Pada 14 hari terakhir, rata-rata aktivitas warga di rumah adalah 5,86% di atas normal. Berkurang ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yaitu 6% di atas norma. So, tidak heran virus corona jadi lebih mudah menyebar.
Pandemi virus corona adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Namun kemudian pagebluk ini bertransformasi jadi bencana sosial-ekonomi.
Virus mematikan yang masih berkeliaran membuat pemerintah tetap membatasi aktivitas dan mobilitas masyarakat. Selain karena anjuran pemerintah, sebagian masyarakat juga masih secara sukarela mengurangi kegiatan di luar rumah karena khawatir tertular.
Padahal mobilitas manusia adalah kunci pertumbuhan ekonomi. Tanpa mobilitas yang tinggi, ‘roda’ perekonomian bakal macet, tidak bisa bergerak cepat. Apalagi kalau kemudian negara sampai memberlakukan karantina wilayah (lockdown) total, praktis ekonomi bakal ‘mati suri’.
Ini yang terjadi di Indonesia tahun lalu. Pada awal kuartal II-2020, pemerintah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hasilnya langsung terasa, Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II-2020 tumbuh -5,32%, terendah sejak kuartal I-1999.
Selepas itu, pemerintah mulai memberikan kelonggaran. Ini membuat kontraksi ekonomi semakin melandai. Namun karena PDB masih terus mengalami kontraksi, Indonesia resmi masuk ke zona resesi ekonomi.
Dengan kasus corona yang semakin ganas, suara-suara untuk mulai mengetatkan kembali aktivitas masyarakat mulai bermunculan. Alasannya, ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa.
“Kita harus cemas melihat kenyataan varian virus sudah berkumpul di Indonesia. Varian delta dan alpha sudah mendominasi. Harus ada keberanian melakukan karantina di wilayah yang sedang meningkat kasusnya,” tegas Pandu Riono, Epidemiolog Universitas Indonesia.
Apakah jika (sekali lagi, jika) lockdown benar-benar diberlakukan Indonesia bakal terus terjebak di ‘jurang’ resesi ekonomi?
Sepertinya tidak. Sebab, pada kuartal II-2021 hampir bisa dipastikan PDB bakal kembali tumbuh positif, tidak lagi terkontraksi.
Dampak pandemi terhadap ekonomi yang paling parah terjadi pada kuartal II-2020, di mana PDB mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) lebih dari 5%. Kuartal II-2020 adalah basis, patokan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021.
Dengan kondisi yang saat ini sudah jauh lebih baik, maka hampir pasti ekonomi kuartal II-2021 bakal tumbuh positif. Tidak sekadar tumbuh, tetapi sepertinya lumayan tinggi.
Pertumbuhan PDB yang positif pada kuartal II-2021 akan memutus rantai kontraksi yang terjadi selama empat kuartal beruntun. Dengan demikian, Indonesia akan resmi ‘lulus’ dari ujian resesi, tidak perlu mengulang.
Namun jika lockdown diberlakukan dalam waktu lama, maka akan berdampak kepada ‘perut’ jutaan rakyat Indonesia. Ada kemungkinan Indonesia kembali mengalami kontraksi ekonomi. Ada kemungkinan angka pengangguran dan kemiskinan naik lagi.
Pada Agustus 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan tingkat pengangguran mencapai 7,07%, Ini adalah yang tertinggi sejak Agustus 2010. Kerja keras menurunkan angka pengangguran dalam 10 tahun hancur begitu saja.
Kemudian per September 2020, tingkat kemiskinan naik ke 10,19%, tertinggi sejak Maret 2017. Tingkat kemiskinan yang susah payah diturunkan ke satu digit sudah kembali menyentuh dua digit.
Lockdown mungkin bisa menyelamatkan nyawa. Namun harga yang harus dibayar sangat mahal, yaitu hilangnya mata pencarian jutaan rakyat Indonesia.(CNBC Indonesia)